Rabu, 11 Juli 2012

I'TIKAF dan TADARRUS


I’TIKAF DAN TADARRUS 

A. I’tikaf

Secara bahasa artinya diam, baik untuk tujuan yang baik atau buruk (lihat Kifayatul Akhyar, hal.). Sedangkan menurut istilah ialah diam lebih lama sedikit daripada tuma’ninah shalat di dalam masjid atau rahbah (dinding batas, beranda depan, serambi)-nya dengan niat i’tikaf karena Allah (Fathul Mu’in, jil. 2, hal. 92)
Sunnah Nabi SAW telah menetapkan bahwa i’tikaf itu sunnat dan perlu untuk setiap waktu. Terutama pada sepertiga yang akhir pada bulan Ramadlan, dan paling tidak pada tanggal yang ganjil sejak 21 hingga 29 Ramadlan.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ. صحيح البخاري، رقم 2025)

Dari Abdullah bin ‘Umar Radliallahu ‘anhuma, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh malam yang terakhir daripada bulan Ramadlan.” (Fathul Baari Syarh Shahih Albukhari, hadits nomor 2025)
Rukun I’tikaf

Rukun I’tikaf ada empat, yaitu:
1. Berniat menyengaja beri’tikaf. Bila i’tikaf itu nadzar, maka wajib disebutkan maksud i’ti tersebut dengan lafazh niat: “Aku berniat i’tikaf nadzar karena Allah Ta’ala.”
mu’takif keluar dari masjid seperti pergi ke kamar kecil (WC), tanpa dengan niat untuk kembali lagi ke masjid, maka ia wajib memperbarui niatnya (berniat) lagi ketika hendak beri’tikaf. Namun bila ketika keluar dari masjid ia bermaksud untuk kembali lagi, maka tak perlu berniat lagi.
2. Berdiam diri di masjid selama waktu yang ditentukan.
3. Orang yang i’tikaf (mu’takif) disyarakan: Muslim, baligh, berakal, dan suci dari haidl maupun nifas. Kaum wanita boleh bei’tikaf dengan syarat mendapatkan ijin dai suami atau muhrimnya.
4. Beri’tikaf harus di masjid. Sebaiknya masjid yang dijadikan tempat i’tikaf meupakan jami’ (yang biasa digunakan shalat Jumu’ah), tapi boleh pula beri’tikaf di masjid bukan jami’. I’tikaf kurang baik bila dilakukan saat hari Jum’at, karena hari itu banyak orang yang memerlukan tempat di masjid.
Tidak diperkenankan keluar masjid, kecuali untuk keperluan yang pokok dan mendesak, seperti makan, minum, membuang hajat, memenuhi panggila orangtua, I’tikaf boleh dikerjakan pada siang atau malam hari.

Pembatalan I’tikaf
I’tikaf dinilai batal bila:
1. Berhadats.
2. Keluar dari masjid tanpa ada keperluan mendesak (yang dibenarkan) syari’at.
Hakikatnya beri’tikaf ialah kita berupaya mendekatkan diri kepada Allah dengan menghindari pergaulan duniawi melalui cara menyepi diri di masjid. Saat itu kita memperbanyak mengingat Allah dengan berdzikir, bertadabbur tentang ayat-ayat Alquran, bertafakkur tentang amal kita, bermuhasabah diri, dan segala amal shaleh lainnya.
Dalam beri’tikaf hendaknya kita menghindari berbagai perbuatan yang buruk. Syaikh Zainuddin Almalibari dalam kitabnya Fathul Mu’in, mengutip pendapat Abu Yusuf (penyusun kitab Al-Anwar), yang menyatakan bahwa pahala i’ikaf menjadi hilang disebabkan tercela seperti memaki, membicarakan orang lain (gibah), dan memakan makanan haram. (Fathul Mu’in, juz II, hal. 95) 

B. Tadarrus Alquran

Sudah lazim dan menjadi tradisi di Indonesia, ketika Ramadlan tiba, masyarakat beramai-ramai menyelenggarakan kegiatan keagamaan. Mulai dari tarawih berjama’ah, i’tikaf, buka puasa bersama, sahur bersama, pesantren Ramadlan, hingga halaqah tadarus Alquran. Semua kegiatan tersebut didasarkan pada hadits berikut ini.

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (صحيح البخاري، رقم1870)
Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memeriahkan bulan Ramadlan dengan ibadah, (dan dilakukan) dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (Shahih Albukhari, hadits nomor 1870)
Mengenai kata “qaa-ma” atau qiyam Ramadlan dalam hadits di atas, Al-Shan’ani dalam kitabnya Subul syarh Bulugul Maram, menjelaskan:
قِيَامُ رَمَضَانَ أَيْ قِيَامُ لَيَالِهَا مُصَلِّيًا اَوْ تَالِيًا. (سبل السلام، ج2 ص
173)
“Yang dimaksud dengan qiyam Ramadlan (dalam hadits itu adalah) mengisi dan memeriahkan malam bulan Ramadlan dengan melakukan shalat atau membaca Alquran.” (Subulussalam, juz II, hal. 173)
Lebih lanjut, Syaikh Al-Manawi pengarang kitab Faidl Al-Qadiir Syarh Al-Jami’ush-shagir pun menjelaskan:
وَيَحْصُلُ بِنَحْوِ تِلاَوَةٍ اَوْصَلاَةٍ اَوْذِكْرٍ اَوْعِلْمٍ شَرْعِيٍّ وَكَذَا كُلُّ اُخْرَوِيٍّ. (فيض القدير، ج6 ص191)
“Qiyam Ramadlan itu dapat dilaksanakan dengan membaca Alquran, shalat, dzikir, atau mempelajari ilmu agama. Dan demikian pula segala kegiatan yang bersipat ukhrawi.” (Faidl al-Qadiir, juz VI, hal. 191)
Dengan penjelasan kedua pengarang kitab yang mengomentari kitab-kitab hadits, yakni Al-Shan’ani mengomentari Kitab Hadits Bulugul Maram, dan Al-Manawi mengomentari Kitab Hadits Jami’ush-shagir, maka dapat dikeatahui, di antara bentuk qiyam Ramadlan ialah dengan membaca Alquran atau dalam istilah kita dikenal dengan istilah tadarrus. Namun bagaimana metode tadarrus yang benar?. Syaikh Nawawi Albantani mengatakan:
فَمِنَ التِّلاَوَةِ الْمُدَارَسَةُ الْمُعَبَّرُ عَنْهَا بِاْلإِدَارَةِ وَهِيَ اَنْ يَقْرَأَ عَلَى غَيْرِهِ وَيَقْرَأَ غَيْرُهُ عَلَيْهِ وَلَوْ غَيْرَ مَا قَرَأَهُ اْلأَوَّلُ. (نِهَايَةُ الزَّيْن، ص194-195)
“Termasuk membaca Alquran (pada malam bulan Ramadlan) adalah mudarasah, yang sering disebut dengan idarah. Yakni seseorang membaca untuk orang lain, kemudian orang lain itu membaca untuk dirinya. (Yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa yang dibaca (orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayatuzzain, hal. 194-195)

Tadarrus Alquran pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مِنْ اَجْوَدِ النَّاسِ وَاَجْوَدُ مَايَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ. فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ اَجْوَدَ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ. (مسند احمد، رقم3358)
“Dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna. Sedangkan saat yang paling baik bagi beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat malaikat Jibril mengunjungi beliau. Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi setiap malam bulan Ramadlan, lalu melakukan mudarasah Alquran dengan Nabi. Rasul SAW memiliki suara yang lebih merdu dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad, hadits nomor 3358)

(Oleh : K.H. Abdurrahman Navis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar