Senin, 16 Juli 2012

Awal dan Akhir Ramadhan ; Mengapa berbeda?

Seputar Perbedaan Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan dan Solusinya
Pertanyaan:
Sudah beberapa kali di Indonesia ini terjadi perbedaan penentuan hari raya, baik itu Iedul Fitri atau Iedul Adlha. Bagi orang yang mengerti mungkin tidak masalah itu dianggap sebagai wacana kekayaan islam, tetapi bagi kalangan orang awam tidak jarang terjadi konflik antar tetangga karena beda berhari raya. Yang menjadi pertanyaan saya ustadz, apa penyebab perbedaan itu dan apa ada solusinya untuk bisa disatukan ? Atas penjelasan ustadz saya haturkan terima kasih.

Muh. Ishom Ayatillah
Slopeng Sumenep
Jawaban:
Mas Muh Ishom Ayatillah yang saya hormati, penyebab terjadinya perbedaan dalam menentukan hari raya baik Idul Fitri atau Idul Adlha di Indonesia, menurut al-haqir, karena dua hal : Pertama, karena berbedanya pijakan dalam mengambil keputusan masuknya awal bulan antara hisab dan rukyat ; Kedua, berbedanya dalam menentukan mathla’ (terbitnya bulan), antaran wihdatul mathla’ (centra terbit bulan / rukyat internasional) dan ikhtilaful matholi’ (berbeda terbit bulan / rukyat lokal).
Sebagian kelompok umat islam di Indonesia dalam menentukan masuk awal bulan Hijriyah menggunakan Rukyatul hilal bil fi’li (melihat bulan secara langsung) sebagai keputusan final sedangkan hisab hanya penunjang, jika bertentangan antara hisab dan rukyat maka yang dijadikan patokan adalah rukyat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang kemudian dilaksanakan para sahabat : “ Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan, kalau mendung bagimu, maka sempurnakan hitungan tiga puluh hari.” (H.R. Bukhori)
Dan yang lain ada yang menggunakan hisab sebagai pijakan pokok dalam mengambil keputusan dalam menentukan masuknya bulan, sedangkan rukyat bisa dikalahkan dengan al-Hisab al-Falaki al-Qoth’i. Artinya, jika bertentangan antara hisab dan rukyat maka yang dimenangkan adalah hisab karena rukyat masih diragukan akurasinya baik derajat hilal yang di rukyat atau keahlian orang yang merukyat, sedangkan hisab sudah teruji melalui beberapa percobaan sehingga lebih akurat dan ilmiah.
Sebagian kelompok umat islam yang lain ada yang menganut pendapat ulama’ tentang wihdatul mathla’ (rukyat internasional), artinya bila sebagian negara islam di dunia terutama Makkah Arab Saudi ada yang melihat bulan, maka seluruh umat islam sedunia harus mengikutinya. Karena bulan itu satu dan untuk semua manusia penghuni bumi. Juga di zaman Rasulullah SAW tidak ada umat islam di seluruh pelosok jazirah arab yang berbeda, jika Rasulullah puasa seluruh umat islam puasa begitu juga jika Rasulullah SAW berlebaran maka seluruh kaum muslimin ikut berlebaran. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah tentang awal puasa dan hari raya.
Sedangkan sebagian yang lain tidak begitu, tetapi menggunakan ikhtilaful matholi’ (rukyat lokal), Artinya setiap wilayah hukum punya otoritas untuk menentukan awal bulan puasa dan berhari raya. Walaupun di Makkah sudah terlihat bulan tetapi kalau di Indonesia bulan tidak dapat dilihat maka Indonesia punya hak untuk menentukan sendiri tidak harus ikut Makkah. Hal ini berdasarkan hadits sahabat Kuraib yang ketika awal Ramadlon berada di Syam dan berpuasa hari Jumat karena ikut rukyat Kholifah Muawiyah yang melihat hilal malam Jum’at. Di pertengahan Ramadlon, Kuraib pergi ke Madinah dan bertemu dengan Ibnu Abbas, beliau mengatakan di Madinah baru memulai puasa pada hari Sabtu karena baru melihat bulan pada malam sabtu. Antara Syam dan Madinah berbeda memulai puasa karena berbeda mathla’. (Lihat : al-Fiqh Alislamy wa Adillatuh. DR. Wahbah al-Zuhaili)
Itulah penyebab perbedaan penentuan hari raya baik Idul Adlha atau Idul Fitri. Tentu sebagai umat islam yang berukhwah, kita tidak boleh mengklaim kebenaran lalu menyalahkan yang lain dan seharusnya melihat perbedaan ini sebagai khilafiyah furu’yah yang tidak harus terlalu dipertentangkan tetapi ikutilah yang diyakini dan toleransi pada orang lain yang punya keyakinan lain, karena ini hasil ijtihad, dan ijtihad yang memenuhi syarat itu walau ternyata nantinya salah tidak mendapat dosa malah masih dapat satu pahala.
Namun alangkah baiknya kalau bisa disatukan seperti negara-negara muslim lain. Apa mungkin disatukan ? Menurut al-haqir, masih bisa disatukan dengan beberapa cara, diantaranya : Pertama, semua kaum muslimin dan organisasi islam di Indonesia sepakat untuk mengikuti dengan konsisten ketetapan (itsbat) hakim ( pemerintah. Cq. Mentri agama). Sesuai kaidah ushul fiqh : “ Keputusan hakim dapat menghilangkan perselisihan”. Tetapi, sebelum menetapkan (itsbat), hendaknya pemerintah akomodatif terhadap beberapa metode yang diikuti oleh masing-masing organisasi islam ; Kedua, organisasi islam, pemerintah dan kaum muslimin di Indonesia berijma’ (sepakat) untuk mengikuti pendapat jumhur ulama’ “wihdatul mathla’ (rukyat internasional). Artinya Indonesia tidak usah hisab dan rukyat sendiri, tetapi cukup mendengarkan informasi dari Makkah, jika Makkah hari raya maka Indonesia ikut berhari raya. Ini tentu menuju persatuan umat islam se-dunia.
Semoga menjadi sumbangan pemikiran bagi penyelesaian perbedaan hari raya di tahun-tahun yang akan datang. Amiin.

(Sumber : KH. Abdurrahman Navis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar