Tidak Semua Makna Istawlâ atau Qahara Berindikasi : Sabq al-Mughâlabah
Sebagian kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah di masa sekarang
terkadang mambantah pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ, Qahara atau Ghalaba
(menguasai). Mereka lebih memilih makna Istaqarra (bersemayam atau bertempat)
yang jelas tidak sesuai bagi keagungan Allah. Di antara alasan yang mereka
kemukakan ialah bahwa pemaknaan Istawâ dengan Qahara dan Ghalaba memberikan
indikasi adanya “pertentangan” antara Allah dengan arsy, dan kemudian Allah
memenangkan “pertentangan” tersebut. Artinya, menurut mereka seakan pada
awalnya Allah dikalahkan (Maghlûb), lalu kemudian Dia dapat mengalahkan
(Ghâlib). Mereka memandang bahwa di sini ada pemahaman Sabq al-Mughâlabah,
artinya seakan Allah dikalahkan terlebih dahulu.
Kita jawab: ”Pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ, Qahara atau Ghalaba sama
sekali tidak memberikan indikasi Sabq al-Mughâlabah. Pemahaman ini seperti
dalam firman Allah:
كَتَبَ اللهُ لأغْلِبَنّ أنَا وَرُسُلِيْ
(المجادلة: 21)
”Allah telah menetapkan: Aku (Allah) dan para Rasul-Ku benar-benar akan
selalu menang”. (QS. Al-Mujadilah: 21)
Ayat ini sama sekali tidak memberikan indikasi adanya Sabq al-Mughâlabah.
Pemahaman ayat ini bukan berarti Allah dikalahkan dahulu oleh musuh-musuh-Nya
(orang-orang kafir) lalu kemudian Allah dapat mengalahkan musuh-musuh-Nya
tersebut. Bagaimana mungkin Allah dikalahkan oleh musuh-musuh-Nya yang notabene
adalah makhluk-makhluk-Nya sendiri?! Karena itu Imam al-Qasthallani dalam kitab
Irsyâd as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri menentang keras orang yang
mengingkari pemaknaan Istawâ dengan Qahara atau Ghalaba hanya karena alasan
memberikan indikasi Sabq al-Mughâlabah. Beliau menjelaskan bahwa Qahara atau
Ghalaba dalam penggunaan bahasa tidak harus memberikan indikasi Sabq
al-Mughâlabah.
Benar, makna dari Istawlâ, Qahara atau Ghalaba secara bahasa memiliki dua
pemaknaan; bisa dengan adanya Sabq al-Mughâlabah, namun bisa pula tanpa adanya
Sabq al-Mughâlabah. Penggunaan kata Qahara atau Ghalaba yang memberikan
indikasi Sabq al-Mughâlabah, sama sekali tidak dimaksud oleh para ulama tafsir
dalam memaknai Istawâ pada hak Allah. Tetapi yang dimaksud oleh para ahli
tafsir dalam penggunaan kata-kata Istawlâ, Qahara, atau Ghalaba untuk memaknai
Istawâ adalah dalam pengertian tanpa adanya Sabq al-Mughâlabah. Dengan
demikian, pemahaman kaum Musyabbihah bahwa penggunaan kata Qahara atau Ghalaba
hanya terbatas kepada satu indikasi saja, yaitu Sabq al-Mughâlabah, adalah
pemahaman yang sangat keliru, pemahaman bahasa yang sama sekali tidak benar
secara bahasa.
ö Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam
Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, hlm. 108, menuliskan sebagai berikut:
“Jika ada orang yang menentang pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ, Qahara atau
Ghalaba dengan alasan karena hal itu memberikan indikasi bahwa Allah dikalahkan
lalu kemudian mengalahkan, kita jawab: Pemahaman semacam itu sama sekali tidak
benar. Pemahaman semacam demikian itu hanya terjadi bila arsy dianggap sesuatu
yang qadim; tanpa permulaan, dan bukan makhluk. Ini jelas tidak benar, karena
arsy adalah makhluk Allah. Segala sesuatu apapun (selain Allah); semuanya
adalah makhluk Allah dan di bawah kekuasaan Allah. Jika arsy atau selain arsy
tidak diciptakan oleh Allah maka semua itu tidak akan pernah ada. Adapun
penyebutan arsy dalam ayat tersebut secara khusus adalah karena arsy itu
makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Ini untuk memberikan isyarat, jika
makhluk yang paling besar bentuknya dikuasai oleh Allah maka secara otomatis
demikian pula dengan makhluk-makhluk yang bentuknya berada di bawah arsy”.
ö Imam Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H) dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah
sebagaimana dikutip oleh Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah
al-Muttaqîn, j. 2, hlm. 108, menuliskan sebagai berikut:
“Jika ada yang mengatakan bahwa pemaknaan Istawâ dengan Qahara atau Ghalaba
memberikan indikasi seakan Allah terlebih dahulu dikalahkan, maka kita jawab:
”Jika demikian, lantas bagaimanakah pemahaman kalian tentang firman Allah: ”Wa
Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 129), apakah dengan dasar ayat ini
kalian juga akan mengatakan bahwa Allah terlebih dahulu dikalahkan oleh
hamba-hamba-Nya?! Pemahaman kalian benar-benar keliru. Bagaimana kalian akan
berani mengatakan bahwa hamba-hamba Allah mengalahkan Allah, padahal mereka
semua adalah makhluk-makhluk-Nya?! Justeru sebaliknya, jika makna Istawâ ini di
artikan seperti yang dipahami oleh kaum Musyabbihah yang bodoh itu bahwa Allah
bersemayam (bertempat) dengan Dzat-Nya di atas arsy maka berarti hal tersebut
memberikan pemahaman bahwa Allah berubah, dari sebelumnya bukan di atas arsy,
kemudian menjadi di atas arsy, karena sesungguhnya arsy itu adalah ciptaan
Allah”.
Dalam halaman yang sama beliau menuliskan sebagai berikut:
“Jika ada yang berkata: ”Bukankah firman Allah: ”ar-Rahmân ‘Alâ al-arsy
Istawâ” (QS. Thaha: 5) harus kita pahami sesuai makna zahirnya?”, kita jawab:
”Allah juga berfirman: ”Wa Huwa Ma’akum Aynamâ Kuntum” (QS. Al-Hadid: 4),
kemudian dalam ayat lain: ”Alâ Innahu Bikulli Syai-in Muhîth” (QS. Fushshilat:
54), dalam pendapat kalian apakah ayat-ayat semacam ini harus juga dipahami
sesuai dengan makna zahirnya?! Bila demikian, maka berarti sesuai pendapat
kalian, dalam waktu yang sama Allah dengan Dzat-Nya ada di atas arsy, juga ada di
sisi kita bersama kita, dan juga ada meliputi alam ini dengan Dzat-Nya. Sangat
mustahil dalam satu keadaan dengan Dzat-Nya Dia berada di semua tempat
tersebut”. Kemudian jika mereka berkata: “Yang dimaksud dengan firman-Nya “Wa
Huwa Ma’akum” adalah dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui terhadap
segala apa yang kita perbuat, dan yang dimaksud dengan firman-Nya “Bi Kulli
Syai-in Muhîth” adalah dalam pengertian bahwa segala apapun yang terjadi pada
alam ini diketahui oleh Allah”, maka kita katakan kepada mereka: ”Demikian pula
dengan firman Allah “’Alâ al-arsy Istawâ” adalah dalam pengertian bahwa Dia
menguasai, menjaga dan menetapkan arsy”.
öSimak pula perkataan Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd, hlm. 59,
sebagai bantahan atas kaum Musyabbihah sebagai berikut:
“Jika orang-orang Musyabbihah mengambil dalil dengan zahir firman Allah:
”ar-Rahmân ‘Alâ al-arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5) untuk menetapkan keyakinan
mereka bahwa Allah berada di atas arsy, maka jalan untuk membantah mereka
adalah dengan mengutip beberapa ayat yang secara pasti membutuhkan kepada
takwil, seperti firman Allah: ”Wa Huwa Ma’akum Aynamâ Kuntum” (QS. Al-Hadid:
4), atau firman Allah: ”Afaman Huwa Qâ-imun ‘Alâ Kulli Nafsin Bimâ Kasabat”
(QS. Ar-Ra’ad: 33), kemudian kita tanyakan makna-makna ayat tersebut kepada
mereka. Jika mereka memaknai ayat semacam tersebut dalam pengertian bahwa Allah
maha mengetahui segala rincian yang terjadi, maka kita katakan kepada mereka;
”Demikian pula memaknai Istawâ dalam pengertian Qahara dan Ghalaba, sama sekali
tidak dilarang, dan pemaknaan seperti demikian itu biasa dipakai dalam bahasa
Arab. Oleh karenanya jika dikatakan dalam bahasa Arab “Istawâ Fulân ‘Alâ
al-Mamâlik”, maka artinya bahwa si fulan telah telah menguasai banyak kerajaan
dan banyak menundukan manusia. Adapun penyebutan arsy dalam ayat ini secara
khusus adalah karena arsy adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya.
Dengan demikian penyebutan arsy secara khusus ini memberikan isyarah bahwa
Allah juga menguasai segala apa yang bentuknya lebih kecil dari pada arsy”.
Kemudian jika mereka berkata: ”Memaknai Istawâ dengan Ghalaba memberikan
pemahaman seakan adanya pertentangan antara Allah dengan arsy; yang pada
mulanya Allah kalah lalu kemudian menang”, kita jawab: ”Pendapat kalian ini
batil. Jika Allah menundukan arsy dalam pengertian yang kalian katakan tentu
Allah akan memberitakan demikian adanya. Sebaliknya, Istawâ dalam pengertian
yang kalian pahami yaitu bersemayam (bertempat) dengan Dzat-Nya sangat jelas
memberikan pemahaman bahwa Allah berubah dari tanpa arsy menjadi butuh kepada
arsy. Dan keyakinan semacam itu adalah kekufuran”.
ö Imam al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlâh ad-Dalîl
Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107, menuliskan sebagai berikut:
“Jika ada yang berkata: ”Penggunaan Istawlâ atau Qahara adalah hanya bagi
yang sebelumnya tidak menguasai dan belum menundukan, atau hanya bagi yang
memiliki penentang saja, artinya ia belum menundukan atau lemah lalu kemudian
dapat menundukan dan berkuasa”, kita jawab: ”Yang dimaksud dengan Istawlâ dan
Qahara di sini adalah sifat kuasa Allah yang sempurna yang sama sekali tidak
terkait dengan adanya penentang.
Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawâ” bukan dalam
pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk
memberikan paham tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan, bukan dalam
perbuatan-Nya.
Kemudian jika ia berkata: ”Bukankah Allah menguasai seluruh makhluk-Nya,
lantas untuk apa penyebutan arsy secara khusus yang dikuasai oleh Allah?”, kita
jawab: Asry disebut secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling
besar bentuknya, sebagaimana telah disepakati ulama. Ini seperti penyebutan
arsy secara khusus dalam firman-Nya: ”Wa Huwa Rabb al-arsy al-‘Azhîm” (QS.
At-Taubah: 129), artinya bahwa Allah adalah Tuhan arsy yang agung, padahal
Allah adalah Tuhan bagi seluruh alam ini. Dengan demikian dapat dipahami jika
Allah menguasai makhluk yang paling besar bentuknya, yaitu arsy, maka sudah
pasti demikian adanya terhadap makhluk-makhluk yang bentuknya lebih kecil dari
pada arsy itu sendiri”.
ö Imam al-Muhaddits Abu Abd ar-Rahman Abdullah al-Harari dalam salah satu
kitab karyanya berjudul Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah
ath-Thahâwiyyah, hlm. 200, menuliskan sebagai berikut:
“Penyebutan arsy secara khusus adalah untuk memberitakan kemuliaan arsy itu
sendiri. Karena ada beberapa perkara yang secara tekstual disandarkan langsung
kepada Allah dalam penyebutannya yang tujuannya adalah sebagai pemberitaan
bahwa perkara tersebut adalah sesuatu yang diagungkan dan dimuliakan. Contohnya
dalam firman Allah: “Nâqatullâh…” (QS. Hud: 64), yang dimaksud adalah unta
betina yang secara khusus dimuliakan oleh Allah, yaitu yang diberikan kepada
Nabi Shalih. Padahal semua unta betina, bagaimanapun ia pada dasarnya sama;
adalah milik Allah”.
Penggunaan semacam ini di dalam bahasa Arab disebut dengan Idlâfah
at-Tasyrîf. Artinya; penyebutan secara khusus dari suatu objek benda dengan
disandarkan kepada Allah adalah untuk memberikan pemahaman bahwa benda tersebut
memiliki keunggulan dan kemuliaan atas benda-benda lainnya. Contoh lainnya yang
sepaham dengan QS. Hud: 64 di atas adalah firman Allah:
أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطّائِفِيْنَ
(البقرة: 125)
“Bersihkan oleh kalian berdua (Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il)
“rumah-Ku” bagi orang-orang yang melakukan tawaf”. (al-Baqarah: 125)
Bahwa maksud “rumah Allah” dalam ayat ini bukan berarti Allah berada dan
bertempat di dalamnya, tetapi dalam pengertian bahwa rumah tersebut adalah
rumah yang dimuliakan oleh Allah; dan yang dimaksud oleh ayat ini adalah
ka’bah.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa penyebutan arsy secara khusus dalam
beberapa ayat tentang Istawâ adalah untuk memberitahukan bahwa arsy disamping
sebagai makhluk Allah yang paling besar bentuknya, juga sebagai tempat yang
dimuliakan oleh Allah. Hal itu karena arsy ini adalah tempat tawaf para Malaikat,
sebagai ka’bah dimuliakan oleh Allah adalah karena ia tempat tawaf bagi
manusia. Oleh karena itu Allah berfirman:
وَتَرَى الْمَلاَئِكَةَ حَآفِّينَ مِنْ
حَوْلِ الْعَرْشِ (الزمر: 75)
”Dan engkau (Wahai Muhammad) melihat para Malaikat melakukan tawaf
mengelilingi arsy” (QS. Az-Zumar: 75)
Ayat ini dengan jelas memberikan pemahaman bahwa para Malaikat itu
melakukan tawaf dengan mengelilingi arsy.
ö Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri menyebutkan bahwa
arsy disebut secara khusus dalam beberapa ayat tentang Istawâ adalah karena
arsy sebagai makhluk Allah yang paling besar bentuknya.
Dari penjelasan ini semua dapat dipahami bahwa pemaknaan yang paling sesuai
bagi kata Istawâ adalah Istawlâ atau Qahara. Pemaknaan ini sesuai bagi
keagungan Allah, di dalamnya sedikitpun tidak ada unsur tasybîh, juga tidak ada
unsur perendahan (tanqîsh) terhadap keagungan-Nya. Adapun pendapat Ibn Taimiyah
yang mengingkari pemaknaan ini maka itu sama sekali tidak dapat dijadikan
sandaran. Ibn Taimiyah berpendapat demikian adalah karena berangkat dari
keyakinan tasybîh-nya sendiri yang mengatakan bahwa Allah duduk di atas arsy.
Bahkan menurutnya, Allah mengosongkan sedikit bagian dari arsy tersebut untuk
mendudukan nabi Muhammad di sana bersama-Nya. Keyakinan Ibn Taimiyah ini ia
dasarkan kepada pendapatnya bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada penggunaan majâz
(metafor). Pendapatnya ini telah ditentang keras oleh para ulama, baik ulama terkemuka
yang semasa dengannya atau para ulama yang datang sesudahnya, di antaranya oleh
Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki dalam karyanya as-Sayf
ash-Shaqîl Fî ar-Radd ’Alâ Ibn Zafîl yang telah menjelaskan secara rinci bahwa
dalam al-Qur’an terdapat penggunaan majâz (metafor). (Lihat as-Sayf ash-Shaqîl,
hlm. 98).
ö Pernyataan Imam Taqiyuddin as-Subki tentang penggunaan majâz dalam
al-Qur’an sebagai bantahan terhadap Ibn Taimiyah juga dikuatkan oleh Imam
Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitabnya, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn. Terkait
ini Imam az-Zabidi kemudian menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ
dengan Istawlâ tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan
sesuatu yang tidak boleh. Artinya, menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam
ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini jauh berbeda
dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra, penafsiran semacam ini sama
sekali tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah dengan
sifat-sifat makhluk-Nya.
Masih dalam kitab as-Sayf ash-Shaqîl, hlm. 99, Imam Taqiyuddin as-Subki
menuliskan sebagai berikut:
“Bila ada orang yang menetapkan sifat “duduk” bagi Allah, kemudian ia
mengatakan bahwa yang dimaksud “duduk” di sini bukan sifat benda, kita jawab:
Orang semacam ini telah mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak memiliki
dasar dalam penggunaan bahasa.
Artinya, karena duduk hanya berlaku bagi benda yang memiliki bentuk dan
ukuran-. Dengan demikian pernyataan yang dia ungkapkan adalah sesuatu yang
batil. Orang semacam ini sama saja dengan yang mengatakan bahwa Allah adalah
benda, namun tidak seperti segala benda. Orang ini harus dihukum karena
kesesatannya, walaupun ia mengatakan Allah benda tidak seperti segala benda.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah maha sempurna dalam kekuasaan dan
sifat-sifat-Nya dengan tanpa permulaan (Azaliy) dan tanpa penghabisan (Abadiy).
Sementara arsy adalah sesuatu yang baharu dan merupakan makhluk-Nya. Dengan
demikian dapat dipahami, dalam firman Allah: “Tsumma Istawâ ‘Alâ al-arsy” bahwa
Istawâ di sini adalah sifat Allah yang bukan merupakan sifat makhluk, sementara
arsy adalah makhluk Allah sendiri. -Karena itu tidak boleh dipahami bahwa Allah
bertempat di ats arsy”.
Di antara kebiasaan kaum Musyabbihah adalah mengatakan “Kita menetapkan
bagi Allah segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dan oleh
Rasul-Nya”. Kemudian untuk mengelabui orang-orang awam mereka mengatakan “Dia
duduk, bersemayam, atau bertempat tidak seperti seperti duduk dan bertempat
kita”, atau mengatakan “Dia memiliki kaki, tapi tidak seperti kaki kita”, atau
“Dia memiliki telinga, tapi tidak seperti telinga kita, dan seterusnya.
Ungkapan mereka ini sama sekali bukan merupakan pensucian (tanzîh) bagi Allah,
tapi sebagai penyeruapaan atas-Nya (tasybîh). Ungkapan seperti mereka itu sama
saja dengan mengatakan “Allah adalah manusia, tapi tidak seperti seluruh
manusia”. Na’ûdzu Billâh. Lantas dimanakah mereka menempatkan firman Allah QS.
Asy-Syura: 11 bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makluk-Nya?!
Apa yang dinyatakan oleh Imam Taqiyuddin as-Subki ini adalah persis
merupakan keyakinan para ulama Salaf, Imam Abu Hanifah, Imam al-Bukhari dan
lainnya. Ialah berkeyakinan bahwa sifat fi’il (perbuatan) Allah itu Qadim dan
Azaliy; tanpa permulaan. Para ulama Salaf berpendapat bahwa fi’il Allah (segala
perbuatan Allah) adalah merupakan sifat-sifat-Nya yang Azaliy, adapun pengaruh
atau objek (Maf’ûl) dari sifat fi’il tersebut adalah sesuatu yang baharu.
Segala sesuatu selain Allah atau alam ini adalah pengaruh atau objek (maf’ûl)
dari sifat fi’il Allah tersebut, semua itu baharu (Hâdits), adapun sifat fi’il
Allah sendiri adalah Qadim.
ö Adapun pendapat Ibn al-A’rabi, salah seorang pakar bahasa, yang
mengingkari pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ atau Qahara dengan alasan
berindikasi Sabq al-Mughâlabah, maka pendapat ini tidak cukup kuat untuk
dijadikan satu-satunya sandaran. Karena pakar bahasa lainnya, yang justru lebih
kuat dan lebih masyhur dibanding Ibn al-A’rabi telah menetapkan bahwa di antara
makna Istawâ adalah Istawlâ atau Qahara yang tidak memberikan indikasi Sabq
al-Mughâlabah, di antara barisan pakar bahasa yang menyatakan demikain adalah;
Imam al-Lughawiy az-Zajjaj, Imam al-Lughawiy az-Zujaji, Imam al-Lughawiy
al-Azhari, Imam al-Lughawiy al-Jawhari, Imam al-Lughawiy al-Fairuzabadi, Imam
al-Lughawiy ar-Raghib al-Ashbahani, dan Imam al-Lughawiy al-Hâfizh Muhammad
Murtadla az-Zabidi, serta para ahli bahasa lainnya.
Dengan demikian pendapat Ibn al-A’rabi ini tidak dapat dijadikan
satu-satunya rujukan utama untuk mengingkari pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ
atau Qahara dengan alasan adanya indikasi Sabq al-Mughâlabah. Terpenting dari
pada itu semua, Ibn al-A’rabi sendiri adalah seorang yang mensucikan Allah,
beliau tidak berkeyakinan seperti keyakinan kaum Musyabbihah Mujassimah yang
mengatakan bahwa Allah bertempat atau duduk di atas arsy. Tentang hal ini Imam
Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam dalam Tâj al-‘Arûs mengutip pernyataan Ibn
al-A’rabi tentang definisi arsy, bahwa ia (Ibn al-A’rabi) berkata: “al-arsy
maknanya adalah al-Mulk (kerajaan atau kekuasaan), kata al-Mulk; dengan
di-dlammah-kan pada huruf mîm-nya”. (Lihat Tâj al-‘Arûs, j. 4, hlm. 321).
ö Kemudian Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam kitab Daf’u Syubah Man Syabbah
juga telah mengutip pernyataan Ibn al-A’rabi yang telah mentakwil hadits Nabi
yang berbunyi: “Hatta Yadla’ Rabb al-’Izzah Fihâ Qadamahu”, beliau (Ibn
al-A’rabi) mengatakan bahwa yang dimaksud “Qadam” dalam hadits ini adalah
“al-Mutaqaddim”, artinya “yang mendatangi”. Kata “Qadam” adalah jamak dari kata
“Qâdim”. (Lihat Daf’u Syubah Man Syabbah, hlm. 12).
Dengan demikian makna hadits tersebut, sebagaimana pentakwilan Ibn
al-A’rabi, adalah bahwa Allah akan mendatangkan, artinya memasukan setiap orang
tanpa terkecuali yang merupakan penduduk neraka ke dalam neraka itu sendiri.
Pemahaman Ibn al-A’rabi ini berbeda dengan kaum Musyabbihah yang mengambil
zahir lafazh “Qadam” yang berarti kaki. Karena itu kaum Musyabbihah, karena
mereka anti terhadap takwil, mereka telah menetapkan adanya kaki bagi Allah.
Dari sini kita katakan kepada kaum Musyabbihah yang “ngotot” mempertahankan
pernyataan Ibn al-A’rabi bahwa memakani Istawâ dengan Istawlâ memberikan paham
adanya Sabq al-Mughâlabah; Apakah kalian sejalan dengan pemahaman Ibn al-A’rabi
dalam memaknai hadits di atas?! Bagaimana pula kalian memahami firman Allah:
“Fastawâ ‘Alâ Sûqih” (QS. Al-Fath: 29), apakah kalian juga akan memaknainya
dengan bertempat dan bersemayam sesuai lafaz zahirnya?!
Di Atas Arsy Terdapat Tempat
Kaum Musyabbihah ketika kita katakan kepada mereka bahwa Allah tidak
membutuhkan kepada tempat dan arsy karena arsy adalah makhluk Allah dan Allah
tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya sendiri; mereka tidak memiliki jawaban
bagi kebenaran logika ini walaupun mereka tetap bersikukuh dengan aqidah
tasybîh mereka, hanya saja sebagian mereka dengan alasan dan argumen yang
dibuat-buat (Takalluf) mengatakan bahwa Allah di atas arsy dan bahwa di atas
arsy itu tidak ada tempat. Kadang mereka mengatakan bahwa tempat itu hanya
berada di bawah arsy saja, adapun di atas arsy tidak ada tempat. Ungkapan aneh
ini seperti pernyataan salah seorang pimpinan mereka; Muhammad Nashiruddin
al-Albani, dalam catatan tambahannya (Ta’lîq) atas Matan al-‘Aqîdah
ath-Thahâwiyyah menuliskan bahwa arsy itu berada di atas semua makhluk dan di
atas arsy tersebut tidak ada makhluk apapun.
Kerancuan mereka ini kita jawab; “Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam
al-Bukhari, Imam al-Bayhaqi dan lainnya, dari sahabat Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ لمَا قَضَى الْخَلقَ كَتَب في
كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ
غَضَبِي (رواه البخاري والبيهقي)
“Sesungguhnya setelah Allah menciptakan segala makhluk-Nya Dia menuliskan
dalam satu kitab, yang kitab tersebut kemudian ditempatkan di atas arsy,
tulisan tersebut ialah “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku”. (HR.
al-Bukhari dan al-Bayhaqi)
Dengan demikian tidak dapat dipungkiri baik secara logika atau dalam
tinjauan syari’at bahwa di atas arsy terdapat tempat. Karena seandainya di atas
arsy tidak ada tempat maka tentunya Rasulullah tidak akan mengatakan “Kitab
tersebut kemudian ditempatkan di atas arsy” (Fa Huwa Maudlû’ ‘Indahu Fawq
al-arsy)” sebagaimana redaksi riwayat Imam al-Bukhari dalam kitab Shahîh-nya.
Sebaliknya, teks hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa di atas
arsy tersebut terdapat tempat dengan bukti bahwa kitab tersebut berada di
atasnya.
Jika ada kaum Musyabbihah mengatakan bahwa kata “fawqa” (di atas) dalam
hadits ini dalam pengertian “dûna” (di bawah), kita jawab: “Pemaknaan semacam
ini adalah takwil yang sama sekali tidak memiliki dasar. Metode takwil itu
hanya diberlakukan ketika dibutuhkan untuk itu. Sementara dalam hadits ini sama
sekali tidak ada kebutuhan untuk memberlakukan takwil tersebut”. Lalu kita
katakan juga kepadanya: “Bukankah kalian anti terhadap takwil sehingga kalian
memahami teks-teks mutasyâbihât dalam makna zahirnya?! Bukankah kalian
mengklaim bahwa yang melakukan takwil adalah seorang mu’ththil (orang yang
menfikan sifat-sifat Allah)?! Lantas mengapa kalian hendak memberlakukan takwil
terhadap hadits ini?!”
Bahkan tidak hanya kitab bertuliskan “Inna Rahmatî Ghalabat Ghadlabî” saja
yang berada di alat arsy, bahkan tentang al-Lauh al-Mahfuzh terdapat dua
pendapat ulama terkait dengan tempatnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Lauh
al-Mahfuzh berada di atas arsy, sebagian lainnya mengatakan berada di bawah
arsy. Artinya posisi al-Lauh al-Mahfuzh ini dalam dua kemungkinan; ada
kemungkinan di atas arsy, dan ada kemungkinan di bawah arsy. (Lihat al-Ihsân Bi
Tartîb Shahîh Ibn Hibbân, j. 7, hlm. 5, lihat pula Fath al-Bâri, j. 13, hlm.
526). Hal ini karena tidak ada teks yang secara jelas menyebutkan posisi
al-Lauh al-Mahfuzh tersebut apakah di atas arsy atau di bawah arsy?!
Dengan demikian, di atas dasar pendapat sebagian ulama yang menyatakan
bahwa al-Lauh al-Mahfuzh berada di atas asry berarti kaum Musyabbihah yang
berkeyakinan Allah di atas arsy telah menempatkan Allah dalam posisi yang sama
sejajar dengan makhluk-Nya sendiri, yaitu al-Lauh al-Mahfuzh. Dan bila
demikian, di atas dasar keyakinan kaum Musyabbihah maka berarti sebagian dari
arsy adalah tempat bagi Allah dan sebagian lainnya adalah tempat bagi al-Lauh
al-Mahfuzh, dan sebagaian lainnya tempat bagi kitab yang bertuliskan “Inna
Rahmatî Sabaqat Ghadlabî”. Na’ûdzu Billâh. Apakah ini dinamakan tauhid?! Adakah
seorang ahli tauhid dapat menerima keyakinan buruk semacam ini?!
Di antara dalil yang dapat menguatkan bahwa kitab bertuliskan “Inna Rahmatî
Sabaqat Ghadlabî” benar-benar berada di atas arsy selain hadits riwayat al-Bukhari
dan al-Bayhaqi di atas adalah hadits riwayat Imam an-Nasa-i yang mempergunakan
kata “’Alâ al-arsy”. Redaksi riwayat Imam an-Nasa-i ini dengan sangat jelas
menyebutkan bahwa kitab tersebut berada di atas arsy. Kemudian hadits lainnya
dalam riwayat Imam Ibn Hibban mempergunakan redaksi “Marfû’ Fawq al-arsy”.
Redaksi ini memberikan pemahaman nyata bahwa kitab tersebut berada di atas
arsy. Dari sini apakah kaum Musyabbihah masih keras kepala mengatakan bahwa di
atas arsy tidak ada tempat?! Adakah jalan bagi kaum Musyabbihah untuk tetap
kabur?!
Dengan demikian pernyataan sebagian kaum Musyabbihah bahwa di atas arsy
tidak ada tempat sama sekali tanpa dasar. Dan pentakwilan sebagian mereka
terhadap kata “Fawqa” dengan makna “Dûna” adalah takwil yang batil. Karena
sesungguhnya metode takwil itu hanya diberlakukan terhadap beberapa teks dalam
kondisi tertentu yang menuntut keharusan untuk itu, seperti adanya tuntutan
argumentasi logis (Dalîl ‘Aqliy), atau adanya tuntutan dalil tekstual (Dalîl
Naqliy) terhadap keharusan takwil tersebut, sebagaimana hal ini telah
dijelaskan oleh para ulama ushul fiqih. Karena apa bila pada setiap teks
syari’at diberlakuakan takwil maka segala teks-teks tersebut akan menjadi
kesia-siaan belaka yang tidak memiliki faedah. Padahal seluruh teks syari’at
baik teks al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah harus dihindarkan dari
segala bentuk kesia-siaan.
Adapun makna “’Indahu” dalam hadits di atas bukan dalam pengertian di sisi
atau di samping Allah. Penggunaan ’Inda di sini adalah untuk menunjukan
pemuliaan (Li at-Tasyrîf). Artinya, bahwa kitab bertuliskan “Inna Rahmatî
Sabaqat Ghadlabî” adalah kitab yang dimulikan oleh Allah, bukan artinya kitab
ini bersampingan dengan Allah. Dalam bahasa Arab penggunaan kata ‘Inda tidak
hanya berlaku bagi arah dan tempat saja, tapi juga sering digunakan pada yang
bukan makna arah dan tempat sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para
ulama bahasa sendiri, contoh ini adalah firman Allah tentang tempat para
penduduk surga:
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ
مُّقْتَدِرٍ (القمر: 55)
Penggunaan kata ‘Inda dalam ayat ini bukan untuk memberikan pemahaman bahwa
Allah bertempat di surga bersampingan dengan orang-orang bertakwa, tapi dalam
pengertian bahwa surga tersebut adalah tempat yang dimuliakan oleh Allah.
Inilah yang dimaksud dengan ‘Indiyyah at-Tasyrîf.
Demikian pula dengan makna hadits di atas, penyebutan ‘inda di sana bukan
berarti Allah bersampingan dengan kitab tersebut. Imam Badruddin al-Aini dalam
kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri dalam penjelasan hadits ini menuliskan bahwa
penyebutan ‘Inda di sini bukan dalam pengertian tempat. Karena penggunaan ‘Inda
tidak hanya diperuntukan bagi tempat saja. Contohnya dalam firman Allah tentang
keadaan orang-orang pelaku dosa di akhirat:
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ
نَاكِسُوا رُءُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ (السجدة: 12)
Yang dimaksud ayat ini bukan berarti orang-orang berdosa itu menundukan
kepalanya disisi Tuhannya dalam pengertian bersampingan dengan-Nya, tapi yang
dimaksud ialah bahwa Allah mengkhabarkan kepada kita bahwa para pelaku dosa itu
di kelak akan menundukan kepala, artinya mereka menjadi orang-orang yang sangat
dihinakan oleh Allah.
Dari sini kita katakan kepada kaum Musyabbihah: Jika kalian bersikukuh
memaknai ‘Indahu dalam hadits di atas secara makna zahirnya; yaitu dalam
pengertian Allah bertempat di atas arsy dan bahwa kitab bertuliskan “Inna Rahmatî
Sabaqat Ghadlabî” berada di samping Allah bersama-Nya, lantas bagaimanakah
kalian memaknai firman Allah QS. As-Sajdah: 12 di atas?! Apakah kalian akan
memaknai ayat ini secara zahirnya pula bahwa Allah ada bersampingan bersama
orang-orang pelaku dosa tersebut di bumi?! Tapi jika kalian mentakwil ayat ini
lantas mengapa kalian tidak mentakwil hadits di atas?! Kaum Musyabbihah tidak
akan memiliki jawaban atas ini.
Kemudian kita bacakan pula firman Allah yang menceritakan tentang doa
Asiyah:
إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ
بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ (التحريم: 11)
bahwa yang dimaksud ayat ini sama sekali bukan berarti Asiyah memohon
dibangunkan rumah di surga yang rumah tersebut bersampingan dengan Allah, tapi
yang dimaksud adalah rumah di surga yang dimuliakan oleh Allah.
Demikian pula dengan firman Allah tentang adzab yang ditimpakan kepada kaum
Nabi Luth:
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن
سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ (هود: 83- 82)
Makna ayat ini: “Kami (Allah) menghujani kaum Nabi Luth tersebut dengan
bebatuan dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi yang bebatuan tersebut
telah diberi tanda oleh Tuhanmu (wahai Muhammad), di mana peristiwa itu semua
terjadi sesuai dengan kehendak dan ilmu Allah”. Bukan maknanya bahwa bebatuan
yang dibakar tersebut berada di samping Allah. Apakah kaum Musyabbihah akan
mengambil zahir ayat ini dengan mengatakan bahwa bebatuan yang dibakar tersebut
berada di atas arsy di samping Allah, atau mereka memiliki pemahaman lain?!
Jika mereka tidak memahaminya sesuai zahirnya kita katakan kepada mereka: “Itu
adalah takwil, bukankah kalian anti takwil?!”
Kita lihat pula apa yang akan dikatakan oleh kaum Musyabbihah dalam
memahami hadits Qudsi yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab
Shahîh-nya, juga diriwayatkan oleh para Imam lainnya, bahwa Rasulullah
bersabda: Allah berfirman:
يَا ابْنَ ءَادَم مَرِضْتُ فَلَمْ
تَعُدْنِي، قَالَ: يَا رَبُّ كَيْفَ أعُوْدُكَ وأنْتَ رَبُّ العَالَمِين؟ قَالَ:
أمَا عَلِمْتَ أنّ فُلانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ، أمَا عَلِمْتَ أنّكَ لَوْ
عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِيْ عِنْدَهُ. يَا ابْنَ ءَادَم اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ
تُطْعِمْنِي، قَالَ: يَا رَبُّ كَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأنْتَ رَبُّ العَالَمِيْن؟
قَال: أمَا عَلِمْتَ أنّهُ اسْتَطْعَمَكَ فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ، أمَا
عَلِمْتَ أنّكَ لوْ أطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلكَ عِنْدِي. يَا ابْنَ ءَادَم
اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِِنيْ، قَالَ: يَا رَبُّ كَيْفَ أسْقِيْكَ وَأنْتَ
رَبُّ العَالَمِيْن؟ قَالَ اسْتَسْقَاكَ فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ، أمَا إنّكَ لَوْ
سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي (رواه مسلم)
Dengan alasan apapun redaksi hadits Qudsi ini tidak boleh dipahami dalam
makna zahirnya, karena orang yang memahami makna zhahirnya maka berarti ia
mensifati Allah dengan sifat-sifat manusia. Sebab makna zahirnya menyebutkan
seakan Allah sakit dan Dia berada di samping orang yang sedang sakit,
seakan-akan Allah kelaparan dan Dia berada di samping orang yang sedang
kelaparan, dan seakan-akan Allah kehausan dan bahwa Dia bersama orang yang
tengah kehausan. Dengan demikian orang yang memahami makna zahir teks hadits
Qudsi ini akan jatuh dalam faham tasybîh. Apa yang akan dikatakan oleh kaum
Musyabbihah tentang makna hadits ini?! Kita dapat pastikan bahwa mereka tidak
akan mengambil makna zahir redaksi hadits Qudsi ini. Dari sini kita katakan
kepada mereka: “Pemahaman kalian terhadap hadits Qudsi ini dengan tidak
mengambil makna zahirnya adalah takwil! Lantas dari manakah kalian mengatakan
bahwa seorang Mu’awwil adalah seorang Mu’ath-thil?! Jika demikian maka berarti
kalian telah mengklaim diri kalian sendiri sebagai Ahl at-Ta’thil...!”.
ö Imam an-Nawawi dalam kitab al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn
al-Hajjâj, j. 16, h. 125, dalam menjelaskan hadits Qudsi di atas menuliskan
sebagai berikut:
“Para ulama mengatakan bahwa penyandaran kata sakit dalam hadits Qudsi ini
kepada Allah adalah dalam pengertian bahwa Allah memuliakan hamba-Nya yang
sedang sakit, (bukan artinya Allah yang sakit). Kemudian pengertian “Wajadtanî
‘Indahu...”, bukan dalam pengertian bahwa Allah berada di samping orang yang
sakit tersebut, tapi dalam makna bahwa jika kita menjenguk orang yang sakit
maka kita akan mendapatkan pahala dan kemuliaan dari Allah”.
ö Imam al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh ad-Dalîl, hlm. 198,
dalam penjelasan hadits ini menuliskan sebagai berikut:
“Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam keharusan mentakwil hadits ini.
Zahir teksnya mengungkapkan seakan-akan Allah sendiri yang sakit, minta makan
dan minta minum. Tapi penyendaran hal-hal tersebut yang dimaksud bukan kepada
Allah tetapi kepada seorang wali dari wali-wali-Nya. Hal ini seperti firman
Allah: “In Tanshurullâh Yanshurkum” (QS. Muhammad: 7), juga seperti firman-Nya:
“Innalladzina Yu’dzûnallâha Wa Rasûlulahu...” (QS. Al-Ahzab; 57), yang dimaksud
kedua ayat ini bukan berarti Allah yang butuh kepada bantuan dan pembelaan,
juga bukan berarti Allah yang disakiti atau diperangi, tapi yang dimaksud
adalah agama Allah dan para wali-Nya.
Kemudian makna “Lawajadtanî ‘Indahu...” artinya jika engkau menjenguk hamba
Allah yang sakit tersebut maka engkau akan mendapatkan rahmat, keridlaan dan
kemuliaan dari Allah. Pemahaman ini seperti dalam firman Allah: “Wa Wajadallâha
‘Indahu...” (QS. An-Nur: 39), bukan artinya ia akan mendapati Allah tetapi
dalam pengertian akan mendapati balasan dari Allah, karena itu lanjutan ayat
tersebut adalah “Fa Waffâhu Hisâbah”, artinya Allah memenuhi segala perhitungan
dari balasan siksa yang telah dijanjikan kepada orang yang kafir”.
ö Imam Ibn Jahbal dalam karya Risâlah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allâh menuliskan
sebagai berikut:
“Penggunaan ‘Inda dapat bertujuan untuk menunjukan kemuliaan dan keluhuran
derajat, contohnya dalam firman Allah tentang Nabi Dawud:
وَإِنَّ لَهُ عِندَنَا لَزُلْفَى وَحُسْنَ
مَئَابٍ (ص: 25)
Artinya bahwa Nabi Dawud memiliki kemuliaan dan keluhuran derajat bagi
Allah, dan memiliki tempat kembali yang mulia. Penggunaan ‘Inda dapat pula
bukan untuk tujuan semacam itu, contohnya dalam sabda Rasulullah bahwa Allah
berfirman (hadits Qudsi): “Anâ ‘Inda Zhanni ‘Abdî Bî...”, (artinya bukan berarti
Allah berada di samping setiap orang)”.
Terdapat banyak sekali penggunaan kata ‘Inda dalam ayat-ayat al-Qur’an dan
dalam hadits-hadits Rasulullah yang sama sekali bukan untuk pengertian tempat
dan arah. Artinya bukan dalam pengertian “di sisi” atau “di samping”. Di
antaranya firman Allah tentang beberapa Nabi-Nya:
وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ
الْمُصْطَفَيْنَ اْلأَخْيَارِ (ص: 47)
Makna ayat ini bukan berarti para Nabi yang merupakan orang-orang pilihan
dan orang-orang baik tersebut berada di tempat di samping tempat Allah, tapi
makna ‘Indanâ dalam ayat ini ialah bahwa para Nabi tersebut adalah orang-orang
yang dimuliakan oleh Allah.
ö Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H) dalam kitab Fath al-Bâri,
j. 13, hlm. 429, dalam penjelasan redaksi hadits “...‘Indahu ‘Alâ al-arsy”,
menuliskan sebagai berikut:
“Adapun pemahaman kata “‘Indahu” telah dinyatakan oleh Ibn Baththal sebagai
berikut: Kata ‘Inda dalam dasar penggunaan bahasa adalah untuk tempat, namun
Allah maha suci dari berada pada tempat atau arah. Karena bertempat adalah
sifat benda yang dapat punah, dan itu baharu. Sementara Allah maha suci dan
tidak layak dari segala tanda kebaharuan. Karena itu, menurut satu pendapat,
yang dimaksud hadits ini ialah bahwa Allah maha mengetahui dengan Ilmu-Nya yang
Azaliy tentang orang-orang yang berbuat taat kepada-Nya hingga Allah memberikan
balasan pahala bagi mereka, dan bahwa Allah maha mengetahui dengan ilmu-Nya
yang azali tentang orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Nya hingga Allah
menimpakan balasan siksa bagi mereka. Hal ini dikuatkan dengan lafazh hadits
sesudahnya, yaitu “Ana ‘Inda Zhanni ‘Abdî Bî”. Hadits ini jelas bukan untuk
memberikan paham tempat.
ö Ar-Raghib al-Asbahani menuliskan bahwa kata ‘Inda dipergunakan dalam
beberapa hal, di antaranya untuk pengertian tempat yang dekat, untuk
mengungkapkan keyakinan; seperti bila dikatakan “’Indî Fî Kadzâ Kadzâ” maka
artinya; “Menurut keyakinan saya tentang ini adalah begini...”. Kadang
dipergunakan juga untuk mengungkapkan derajat yang luhur atu kemuliaan, seperti
firman Allah tentang orang-orang yang mati syahid: “Ahyâ’un ‘Inda Rabbihim...”
(QS. Ali ‘Imran: 169).
Adapun firman Allah: “In Kâna Hâdzâ Huwa al-Haqq Min ‘Indika...” (QS.
Al-Anfal: 32), yang dimaksud Min ‘Indika dalam ayat ini adalah Min Hukmika,
artinya dari hukum-Mu dan ketentuan-Mu.
ö Kemudian Ibn at-Tin mengatakan bahwa penggunaan ‘Inda dalam hadits ini
adalah untuk menetapkan bahwa kitab tersebut benar-benar berada di atas arsy.
Sementara tulisan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabi” bukan untuk tujuan agar Allah
tidak melupakannya, karena Dia maha suci dari sifat lupa dan tidak ada suatu
apapun yang tersembunyi bagi Allah. Tulisan tersebut untuk tujuan
memberitahukan kepada para Malaikat yang memiliki tugas menyertai setiap orang
mukallaf (Artinya bahwa rahmat Allah sangat luas)”.
Pada j. 11, hlm. 505 dalam kitab yang sama dalam pembahasan sebuah hadits
tentang Nabi Adam yang dapat mengalahkan argumen (Hujjah) Nabi Musa, al-Hâfizh
Ibn Hajar menuliskan sebuah bab dengan judul: “Bâb: Tahâjjâ Âdam Wa Musâ
‘Indallâh” (Bahwa kelak akan mengadu argumen (Hujjah) antara Nabi Adam dan Nabi
Musa). Kemudian Ibn Hajar menuliskan: “Makna ‘Inda dalam hadits ini adalah
dalam pengertian kekhususan dan kemuliaan, bukan dalam pengertian tempat”.
ö Imam al-Hâfizh al-Muhaddits Waliyuddin Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim
al-Iraqi (w 826 H) dalam karyanya berjudul Tharh at-Tatsrîb j. 8, hlm. 84,
menuliskan sebagai berikut:
“Sabda Rasulullah “Fahuwa ‘Indahu Fawq al-arsy”, kata “’Indahu” adalah kata
yang harus ditakwil. Karena makna zahirnya adalah pengertian tempat bagi
sesuatu, sementara Allah maha suci dari tempat dan arah. Karena itu kata
“’Inda” dalam hadits ini bukan dalam pengertian tempat, tetapi dalam pengertian
“Pemuliaan”. Artinya bahwa kitab tersebut berada di tempat yang dimuliakan dan
diagungkan oleh Allah”.
ö Kemudian Imam al-Hâfizh Ibn al-Jauwzi dalam kitab Daf’u Syubah
at-Tasybîh, hlm. 61 dalam penjelasan makna “Indahu Fawq al-arsy” sebagai
bantahan atas kaum Musyabbihah Mujassimah yang selalu berpegang teguh kepada
makna-makna zahir menuliskan sebagai berikut:
“al-Qâdlî Abu Ya’la (salah seorang pemuka kaum Musyabbihah) memahami kata
‘Indahu bahwa kitab bertuliskan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabî” tersebut dekat
dengan Dzat-Nya. Ketahuilah, pengertian dekat dengan Allah itu bukan dalam
makna jarak, karena jarak itu merupakan sifat benda. Dalam al-Qur’an tentang
bebatuan yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth Allah berfirman: “Musawwamatan
‘Inda Rabbik” (QS. Hud: 82); apakah ini akan diambil makna zahirnya?!”.
INGAT: AQIDAH RASULULLAH, PARA SAHABAT, DAN KELUARGA BELIAU; YANG JUGA
AQIDAH MAYORITAS UMAT ISLAM; AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH ADALAH "ALLAH ADA
TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH".
ALLAH YANG MENCIPTAKAN TEMPAT MAKA ALLAH TIDAK MEMBUTUHKAN KEPADA
CIPTAAN-NYA TERSEBUT.
Waspadai ajaran Wahhabi; Jangan sampai keluarga kita, kerabat, dan anak
cucu kita "termakan" aqidah sesat mereka!!! Ajaranallah Min
Fitnatihim.... (Semoga kita diselamatkan Allah dari bahaya mereka)!!! Amin.. Bi
Jahinnabiy Muhammad Thaha al-Amin....
Wa Allâh A’lam Bi ash-Shawâb.
Wa al-Hamdu Lillâh Rabb al-‘Âlamîn
Bagus jika aswaja dan wahabi saling mengetahui hujjahnya masing.kemudian bersikap toleran/tasamuh,dan tidak saling memaksa.Lanaa a'maalunaa,walakum a'maalukum.Aman tetap bersaudara.Enak kan?
BalasHapusAgar damai antara wahabi dan aswaja pakailah studi komparatip.Wahabi tidak suka tahlil dan usholli alasannya ini.Aswaja pro tahlil dan usholli alasannya ini.Sebutkan tidak usah mencela,menyesatkan,mengkafirkan agar tidak membalas.Biarkan umat memilihnya tanpa paksaan.Wahabi pasti marah jika dikafirkan.Sebaliknya Aswaja juga marah kalau dikafirkan.Berkatalah yang baik(berkwaitas baik),jika tidak,ya lebih baik diam (kalau perlu berdzikir salah.Umat Islam tidak bisa berkasih sayang karena tidak mengamalkan akhlaqul karimah.Benarkah?
BalasHapusrasulullah pernah menguji iman seorang budak di mana allah? si budak menjawab allah berada di atas langit. Rasulpun membenarkan. Kalau memang aqidah rasulullah para sahabat dan keluarga beliau adalah bahwa allah ada tanpa tempat dan tanpa arah termasuk bukan bersemayam di arsy mana riwayat perkataannya yang shohih. Jangan asal ngarang cerita
BalasHapusdalam riwayat siapa entah shahih atau dhaif Rasulullah pernah berkata Allah tanpa tempat dan tanpa arah sehingga Allah tidak mungkin bersemayam di arsy
BalasHapusJika memang Allah SWT tanpa tempat,Ngapain juga dalam peristiwa isro mi'roj Rasulullah SAW jauh2 naik ke langit ketujuh
BalasHapusJika memang Allah SWT tanpa tempat,Ngapain juga dalam peristiwa isro mi'roj Rasulullah SAW jauh2 naik ke langit ketujuh
BalasHapusJika sesedarhana begitu, ngapain Rasulullah isra miroj ke langit, datang ke palestina saja sdh ketemu Allah, sebagaimana Nabi Ibrahim (eyangnya para Nabi)
HapusASWAJA ni shortcut utk ape ye?
BalasHapus"Tempat" atau lokasi merangkumi ruang, arah dan masa.
BalasHapusLangit ialah suatu RUANG. Tujuh lapis langit bermaksud ada 7 pembahagi RUANG2 yang berlainan. Ruang pula ada ruang fizik dan ruang metafizik. Ruang fizik ialah alam fizikal yg kita diami. Ruang metafizik ialah ruang dimensi lain atau disebut 'alam ghaib' tempat diami jin, malaikat dan makhluk ghaib lain. Allah itu di ruang fizik atau metafizik?
Maksud turun drp Langit Ke-7 hingga Ke-1 seterus ke bumi ialah ARAH. Turun bermaksud ARAH atas ke bawah. Daripada Lokasi A kepada Lokasi B.
Sudah tentu drp Lokasi A kepada Lokasi B atau drp Langit ke-7 sehingga Ke-1 perjalanan yang memakan masa. Walaupon sepantas kilat selaju 0.00000000001s pun ia telah dirakam oleh masa.
Soalan saya. Dimana Allah berada sebelum arah, ruang dan masa ini diciptakan? Mustahil jika arah, ruang dan masa ini terjadi sendirinya? Kumudian datang Allah duduk di ruang, arah dan masa yang telah ada?
Ruang itu ada antara pangit dengan bumi dimana disana terdapat bulan, matahari dan bintang2 dan kalaupun planet ada atau entah apa namanya maka keberadaanya adalah antara langit dan bumi.
HapusSementara Langit itu bukan ruang dan langit adalah sebuah bangunan yang kokoh yang terdiri dari 7 lapis.
Dari sisi manusia waktu terjadi dihitung berdasarkan terjadinya siang dan malam akibat Matahari dan bulan mengelilingi bumi. Sementara di langit tidak ada pembagian malam dan siang.
Pertanyaan anda dimanakah Allah berada sebelum arah ruang dan masa diciptakan. Inilah kekeliruan pemahaman anda.
Ruang dan waktu sebagai perhitungan manusia ada hanya pada sisi manusia dan terjadi di bawah langit dan di atas bumi. Allah ada sebelum semuanya ada. Langit dan Bumi dan apa saja yang ada diantara keduanya dan apa yang ada di dalam bumi diciptakan Allah dan Allah tidak terikan dengan penciptaanya dan dia berada di Atas Arsy yang berada di atas langit
Ass. hahahahaha, seuju dengan Satu Teknologi,,,,,,,,,,,,
BalasHapusAlloh swt tidak butuh tempat, buktinya ketika ruang/tempat belum ada Dia sudah ada….tapi ketika tercipta ruang/tempat (dengan terciptanya Arsy) maka dengan sendirinya Dia swt memiliki posisi berkaitan ruang/tempat itu, yaitu Dia swt diluar ruang/tempat itu…dan posisi itu di atas Arsy….sebab dengan Dia swt berada di luar ruang maka dengan sendirinya Dia swt tidak menempati ruang/tempat, jadi tetap masih bisa dikatakan Dia swt tidak butuh ruang/tempat…..nah kalau sekarang ada pertanyaan “dimana Alloh swt ketika Arsy (ruang/tempat) belum ada?”….ada jawabannya di dalam al-hadits yakni ” fi amaa’, laisa fauqohu hawaa’ wa laisa tahtahu hawaa’ ” artinya ” di amaa’, tidak ada ruang di atas-Nya maupun di bawah-Nya “…..jadi amaa’ adalah kondisi tidak ada ruang…..
BalasHapusSifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh:
BalasHapusثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”
Dan dalam Surat Thaha 5 dengan lafazh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya:
“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”
Sumber: https://muslim.or.id/56-sifat-istiwa-allah-di-atas-arsy.html
Ini aqidah yang benar. Kalau ALlah sudah tetapkan maka apa sulitnya mengikuti. Nabi pun tidak pernah mengajarkan dan mengatakan Allah tidak butuh tempat, Maksud dari Istawa adalah istaula. Itu hanya penjelasan kaum mu'tazilah.
HapusIkut nabi atau ikut kaum mu'tazilah
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussetiap pemahaman manusia berbeda beda dan hanya allah lah yg menngetahui kebenaran nya dan allah pula yg mangetahui arti dari makna ayat tersebut, sebagaian berpendafat allah di atas aras berdasarkan ayat arrahman alal arsis tawa ,dan sebagian lagi banyak ayat yg menunjukan bukan di arasy ,lalu ayat yg mana yg benar kalo salah semua nya tidak mungkin,..makanya jangan belagu pintar tentang mengartikan ayat ayat mutasabbbihat yuk kembali kepada jumhur ulama salaf yg mengembalikan maknanya kepada allah hanya allah yg tahu tentang diri allah
BalasHapusMenulis panjang lebar tpi sepertinya belum bisa membedakan antara takwil dan tafsir...dlm mslh aqidah ini tinggal pilih mau pendapat berdasar akal atau berdasar dalil..yg jelas pendapat berdasar akal itu sumbernya dri era mu'tazilah..zaman generasi salaf tdk ada yg nanya2 aneh gini..ketika dikatakan Allah istiwa diatas arsy ya meraka menerima dan mengimaninya..tdk bertanya2 dan membayang2kan..namun kemudian datang generasi kemudian yg sdh tercampr2 pemikiran filsafat hindu,yunani dan china ketika menyikapi istiwa dia mulai membayang2kan dlm fikirannya..dia utak atik agar sesuai logikanya..naudzubillah..
BalasHapusSemuanya adalah ujian keimanan kpd Allah. Yg paling baik adalah jangan dipikirkan, terima saja. Yg penting kita beriman bahwa Allah itu ada, dan keberadaannya tidak seperti ma
BalasHapusKeberadaan Allah tdk seperti keberadaan makhluk yg membutuhkan ruang dan waktu. Allah berada diluar semua itu, karena Dia yg menciptakan segalanya.
BalasHapus