ASWAJA MENJAWAB

Rabu, 18 Juli 2012

Mana Dalilnya??????????



Seringkah anda mendapat pertanyaan : MANA DALILNYA???? 
Apakah semua ibadah harus ADA dalilnya yang spesifik??? atau bagaimana? berikut ini adalah penjelasan mengenai itu.....
Kepada teman-teman Salafi Wahabi yang masih dalam kebingungan memahami persoalan ibadah sehingga masih tetap saja  ngeyel membid’ahkan amal-amal shalih kaum muslimin….  Marilah kita belajar bersama. Simak dulu uraian berikut ini dan apabila masih ada yang belum paham silakan bertanya…, nanti teman-teman Ummati insyaallah akan memberikan jawabannya.
Baiklah, yuk kita mulai saja pelajarannya…. Kita ambil salah satu contoh kasus dari isu-isu bid’ah yang anda selalu menganngapnya bid’ah yang haram. Misalnya MAULID Nabi. Contoh kasus MAULID yang semenjak dulu sampai sekarang terus selalu saja anda  menganggapnya berdosa jika melakukannya. Walaupun sudah banyak penjelasan dijelaskan oleh para pelaku Maulid, tetapi rupanya anda sekalian belum bisa paham-paham juga. Sebabnya mungkin karena hati yang keras atau mungkin hanya karena belum mengerti persoalan ibadah.  
Apakah anda sudah pernah mengikuti acara peringatan MAULID NABI? Jika pernah mengikutinya, tentunya anda tahu bahwa di dalam acara maulid itu berisi aktifitas yang isinya antara lain  tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir, pembacaan biografi Nabi dan biasanya di akhir acara ada tausiyah keislaman. Nah… anda pastinya sangat hafal dengan dalil-dalil tentang tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir dan tausiyah, dalil-dalilnya sudah banyak tersebar di seantero Dunia Maya, silakan cari sendiri atau tanya saja kepada ustadz Gugel.
Oke, bisa ditebak apa yang ingin anda tanyakan disini dan ini bagi anda adalah sangat bermasalah yaitu adakah Dalil dari “Peringatan MAULID”? Benar-benar adakah dalilnya atau tidak ada? Hemmm, baiklah memang selama ini anda selalu bertanya: MANA DALILNYA? Seakan-akan menggambarkan isi kepala anda yang sudah yakin 100 persen bahwa MULID itu tidak ada dalilnya. Benar demikian kan keyakinan anda?
Sebelum menjawabnya, di sini sebaiknya akan dijelaskan sedikit tentang kaidah ushul fiqh. Kita mulai dari suatu kaidah dalam ushul fiqh yang sering digembar-gemborkan oleh teman-teman Salafi Wahabi bahwa:  “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”.
Bermula dari kaidah ini suatu amalan yang diangap ibadah selalu muncul pertanyaan: “Mana Dalilnya?”  Ini karena amalan dipersepsikan kepada sifat dari ibadah yang tauqif. Permasalahannya adalah sudah tahukah anda, untuk ibadah yang jenis atau macam apakah kaidah tersebut seharusnya diterapkan?

Penjelasan dari Kitab

Kita akan coba mengambil penjelasan dari kitab ushul Fiqh:

الأصل في العبادات التوقيف

وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعاً وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، ” أن الأصل في العبادات التوقيف ” كما “أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة”، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جداً ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادةً لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحدٍ أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصاً أو تقديماً أو تأخيراً أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعاً، والعصر أربعاً، والمغرب ثلاثاً، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدّقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلاً أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقداً جديداً لم يكن موجوداً في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه رباً ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذٍ نقول: هذا العقد مباح؛

Langsung ke maksudnya …. Bahwa yang dinamakan ibadah sifatnya tauqif yaitu sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu…., contohnya ibadah wajib shalat lima waktu, ibadah haji, dll. Tentunya ini berbeda dengan muamalah yang asalnya boleh sampai adanya dalil yang melarangnya… Nah sekarang kita lihat apakah sebenarnya ibadah tauqif  itu….

التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلاً أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع


Tauqifi dalam sifat ibadah
Ibadah itu tauqifi dalam semua hal, dalam sifatnya….
Maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi, seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya… oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( pembuat syari’ah yaitu Allah ).

التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضاً- فلا يجوز لأحد أن يخترع زماناً للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلاً

Tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah
Waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. Maka tidak boleh seseorang itu membuat-buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.

التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعاً، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلاً، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلاً، فهذه بدعة!

Tauqifi dalam macamnya ibadah
Begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at…. Artinya termasuk dari macam / jenis ibadah yang disyari’atkan. Maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyari’atkan, seperti menyembah matahari. Atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata: aku ingin melatih badanku misalkan. Maka ini semua bid’ah.

التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعاً، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلاً- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجاً أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدّى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.

Begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah.
Maka ini juga harus masyru’. Maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. Seperti jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji. Atau wuquf di Mina, atau bermalam ( muzdalifah ) di ‘Arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. Kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’.

 Ibadah Mahdhoh, Ghoiru Mahdhoh, Wasail dan Maqosid

Berdasarkan dari penjelasan kitab di atas dapat ditangkap 4 point, dan bila diperhatikan maka di situ didapat kesimpulan bahwa ibadah yang sifatnya tauqif  itu adalah ibadah mahdhoh… faham? Jadi yang dimaksud ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”, adalah diterapkan untuk ibadah yang sifatnya mahdoh saja,bukan semua ibadah.
Nah untuk bisa membedakannya, ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).Untuk ibadah yang sifatny mahdhoh Cuma ada maqoshid, sedangkan untuk ghoiru mahdhoh ada maqoshid juga ada wasail. Baiklah, langsung contoh saja…. biar gampang dan cepat mudeng, perhatikan baik-baik ya mas-mas Wahabi …?
Ibadah Sholat, ini sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada Cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Misalnya Anda seorang penulis di blog, kegiatan menulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah. Tapi karena anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah dengan jalan menulis di blog maka dalam Islam ini berpahala dan termasuk ibadah. Setuju kan? Padahal ini nggak ada lho contoh dari Rasulullah, ya kan? Wasailnya anda menulis di blog, maqoshidnya anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah. Pekerjaan menulis yang begini ini juga termasuk ibadah, tapi ibadah semacam ini tidak dicontohkan oleh Rasul Saw, juga tidak dicontohkan oleh Para Sahabat Nabi.
Nah, yang salah kaprah ketika anda menganggap kegiatan menulis ini disamakan dengan ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Kalau dipandang sedemikian maka seharusnya MENULIS dianggap bid’ah sesat (dholalah). Begitulah, karena salah anggapan seperti inilah, maka selama ini sedikit-sedikit anda bilang bid’ah! Tahlilan itu bid’ah, Maulid juga bid’ah, Yasinan itu bid’ah dan berdosa para pelakunya. Padahal semua ini adalah ibadah ghoiru mahdhoh yang ada wasail dan maqosid-nya sebagaimana contoh di atas. Jadi kalau semua itu ditanya mana dalilnya pasti ada di maqosidnya, demikianlah.
Kita kasih contoh lagi biar semakin jelas ya? Di Indonesia ada macam-macam kegiatan Pengajian (kajian ilmiyyah) dan Tabligh Akbar. Awalnya bentuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tidak ada contoh dari Rasul jadi hukumnya mubah. Tapi karena isi dari kegiatan ini adalah ibadah berupa tholabul ilmi dan tausiyah atau bahkan dakwah maka kegiatan pengajian dan tabligh akbar insyaallah berpahala, bernilai ibadah. (wasailnya kegiatan pengajian dan tabligh akbar, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka tholabul ilmi dan berdakwah). Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan pengajian dan tabligh ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh maka sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah.
Demikian juga dengan Maulid, bahwa maulid adalah wasail (perantara atau ada yang bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul dan mengagungkannya. Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jawabnny adalah mubah, boleh dilakukan juga boleh tidak dilakukan. Tapi kenapa menjadi sunah? Menjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidnya adalah sunah (mengenal dan mengagungkn Rasul adalah Sunah). Karena yang namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maqoshid) – ini adalah kaidah ushul fiqh.

Pertanyaan yang Salah Bagaimana Bisa Dijawab?

Contoh gampangnya untuk penjelasan Lil Wasail hukmul Maoshid: anda membeli air hukumnya mubah, mau beli atau nggak, gak ada dosanya. Tapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Kembali lagi ke Maulid. Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yang bid’ah (dholalah)? Ya, bisa jika anda menganggap Maulid adalah sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Perlu digaris bawahi pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah ada dalilnya memperingati maulid Nabi? INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH. Tidak ada ceritanya namanya wasail ada dalil qoth’inya.
Contoh lagi biar lebih gampang mencerna: anda berangkat bersekolah, ini adalah wasail. Maqoshidnya adalah tholabul ilmi. Karena tholabul ilmi itu hukumnya wajib maka berangkat ke sekolah pun menjadi wajib dan bernilai ibadah. Dalil yang ada adalah dalil tentang tholabul ilmi. Jika ditanya: “Manakah dalil yang menyuruh kita berangkat ke sekolah?” JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.
Begitu pula dengan Maulid, kalau anda tanya dalil maqoshidnya yaitu tentang mengenal dan mengagungkan Rasul ya pasti ada dalilnya dong? Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu memperingati Maulid? JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.

Dalil Wajibnya Bermadzhab

Sedikit tambahan;  ini juga dalil kenapa bermadzab itu wajib hukumnya bagi kita, karena madzab adalah wasail, dan ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengerti agama ini, kita gak mungkin bertanya langsug ke Rasul. Sedangkn maqoshidnya agar kita bisa mengerti tentang agama Islam sehingga kita bisa mengamalkannya dengan benar (ini hukumnya ini wajib). Maka bermadzab menjadi wajib. Kalau anda tanya mana dalil naqlinya secara leterleg yang menyuruh kita bermadzab? Yaa gak ada, lha wong bermadzab itu cuma wasail kok, Mas? Bagaimana teman-teman Wahabi…. apakah anda semua sudah paham?

Demikianlah, kita semua berharap setelah penjelasan ini anda-anda bisa belajar dan lebih mengerti sehingga tidak serampangan dalam bertanya. Ingatlah, sebaiknya anda tidak lagi sering-sering membuat pertanyaan-pertanyaan yang salah. Kalau pertanyaannya saja salah, bagaimana menjawabnya?
Jangan sedikit-sedikit bertanya “MANA DALILNYA” tanpa tahu sesuatu hal itu perlu dalil atau tidak.Sadarlah kalian, bagaimana pertanyaan bisa dijawab kalau pertanyaannya saja salah? Sejak sekarang mulailah belajar membedakan apakah sesuatu itu butuh dalil atau tidak. Sebab tidak semua hal itu harus ada dalilnya.
Wallahu a’lam…..
 Sumber : Ummati Press :  http://ummatipress.com/2012/07/13/tauqifi-ibadah-mahdhoh-ghoiru-mahdhoh-maqosid-dan-wasail/#more-6391

Diposting oleh inilah-aswaja di 10.47 6 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Senin, 16 Juli 2012

Awal dan Akhir Ramadhan ; Mengapa berbeda?

Seputar Perbedaan Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan dan Solusinya
Pertanyaan:
Sudah beberapa kali di Indonesia ini terjadi perbedaan penentuan hari raya, baik itu Iedul Fitri atau Iedul Adlha. Bagi orang yang mengerti mungkin tidak masalah itu dianggap sebagai wacana kekayaan islam, tetapi bagi kalangan orang awam tidak jarang terjadi konflik antar tetangga karena beda berhari raya. Yang menjadi pertanyaan saya ustadz, apa penyebab perbedaan itu dan apa ada solusinya untuk bisa disatukan ? Atas penjelasan ustadz saya haturkan terima kasih.

Muh. Ishom Ayatillah
Slopeng Sumenep
Jawaban:
Mas Muh Ishom Ayatillah yang saya hormati, penyebab terjadinya perbedaan dalam menentukan hari raya baik Idul Fitri atau Idul Adlha di Indonesia, menurut al-haqir, karena dua hal : Pertama, karena berbedanya pijakan dalam mengambil keputusan masuknya awal bulan antara hisab dan rukyat ; Kedua, berbedanya dalam menentukan mathla’ (terbitnya bulan), antaran wihdatul mathla’ (centra terbit bulan / rukyat internasional) dan ikhtilaful matholi’ (berbeda terbit bulan / rukyat lokal).
Sebagian kelompok umat islam di Indonesia dalam menentukan masuk awal bulan Hijriyah menggunakan Rukyatul hilal bil fi’li (melihat bulan secara langsung) sebagai keputusan final sedangkan hisab hanya penunjang, jika bertentangan antara hisab dan rukyat maka yang dijadikan patokan adalah rukyat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang kemudian dilaksanakan para sahabat : “ Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan, kalau mendung bagimu, maka sempurnakan hitungan tiga puluh hari.” (H.R. Bukhori)
Dan yang lain ada yang menggunakan hisab sebagai pijakan pokok dalam mengambil keputusan dalam menentukan masuknya bulan, sedangkan rukyat bisa dikalahkan dengan al-Hisab al-Falaki al-Qoth’i. Artinya, jika bertentangan antara hisab dan rukyat maka yang dimenangkan adalah hisab karena rukyat masih diragukan akurasinya baik derajat hilal yang di rukyat atau keahlian orang yang merukyat, sedangkan hisab sudah teruji melalui beberapa percobaan sehingga lebih akurat dan ilmiah.
Sebagian kelompok umat islam yang lain ada yang menganut pendapat ulama’ tentang wihdatul mathla’ (rukyat internasional), artinya bila sebagian negara islam di dunia terutama Makkah Arab Saudi ada yang melihat bulan, maka seluruh umat islam sedunia harus mengikutinya. Karena bulan itu satu dan untuk semua manusia penghuni bumi. Juga di zaman Rasulullah SAW tidak ada umat islam di seluruh pelosok jazirah arab yang berbeda, jika Rasulullah puasa seluruh umat islam puasa begitu juga jika Rasulullah SAW berlebaran maka seluruh kaum muslimin ikut berlebaran. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah tentang awal puasa dan hari raya.
Sedangkan sebagian yang lain tidak begitu, tetapi menggunakan ikhtilaful matholi’ (rukyat lokal), Artinya setiap wilayah hukum punya otoritas untuk menentukan awal bulan puasa dan berhari raya. Walaupun di Makkah sudah terlihat bulan tetapi kalau di Indonesia bulan tidak dapat dilihat maka Indonesia punya hak untuk menentukan sendiri tidak harus ikut Makkah. Hal ini berdasarkan hadits sahabat Kuraib yang ketika awal Ramadlon berada di Syam dan berpuasa hari Jumat karena ikut rukyat Kholifah Muawiyah yang melihat hilal malam Jum’at. Di pertengahan Ramadlon, Kuraib pergi ke Madinah dan bertemu dengan Ibnu Abbas, beliau mengatakan di Madinah baru memulai puasa pada hari Sabtu karena baru melihat bulan pada malam sabtu. Antara Syam dan Madinah berbeda memulai puasa karena berbeda mathla’. (Lihat : al-Fiqh Alislamy wa Adillatuh. DR. Wahbah al-Zuhaili)
Itulah penyebab perbedaan penentuan hari raya baik Idul Adlha atau Idul Fitri. Tentu sebagai umat islam yang berukhwah, kita tidak boleh mengklaim kebenaran lalu menyalahkan yang lain dan seharusnya melihat perbedaan ini sebagai khilafiyah furu’yah yang tidak harus terlalu dipertentangkan tetapi ikutilah yang diyakini dan toleransi pada orang lain yang punya keyakinan lain, karena ini hasil ijtihad, dan ijtihad yang memenuhi syarat itu walau ternyata nantinya salah tidak mendapat dosa malah masih dapat satu pahala.
Namun alangkah baiknya kalau bisa disatukan seperti negara-negara muslim lain. Apa mungkin disatukan ? Menurut al-haqir, masih bisa disatukan dengan beberapa cara, diantaranya : Pertama, semua kaum muslimin dan organisasi islam di Indonesia sepakat untuk mengikuti dengan konsisten ketetapan (itsbat) hakim ( pemerintah. Cq. Mentri agama). Sesuai kaidah ushul fiqh : “ Keputusan hakim dapat menghilangkan perselisihan”. Tetapi, sebelum menetapkan (itsbat), hendaknya pemerintah akomodatif terhadap beberapa metode yang diikuti oleh masing-masing organisasi islam ; Kedua, organisasi islam, pemerintah dan kaum muslimin di Indonesia berijma’ (sepakat) untuk mengikuti pendapat jumhur ulama’ “wihdatul mathla’ (rukyat internasional). Artinya Indonesia tidak usah hisab dan rukyat sendiri, tetapi cukup mendengarkan informasi dari Makkah, jika Makkah hari raya maka Indonesia ikut berhari raya. Ini tentu menuju persatuan umat islam se-dunia.
Semoga menjadi sumbangan pemikiran bagi penyelesaian perbedaan hari raya di tahun-tahun yang akan datang. Amiin.

(Sumber : KH. Abdurrahman Navis)
Diposting oleh inilah-aswaja di 08.53 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Minggu, 15 Juli 2012

Bilangan Rakaat Tarawih


  • Berapa jumlah rakaat Tarawih??
    Kami menjawab : 20 rakaat ditambah witir

    Berikut adalah kergaman tentang bilangan Shalat Tarawih Manhaj Salafy:

    = > MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL BANI

    Dalam kitabnya “shalat Al tarawih” 1/84

    لا إجماع على العشرين :
    لقد تبين لنا من التحقيق السابق أن كل ما روي عن الصحابة في أنهم صلوا التراويح عشرين ركعة لا يثبت منه شيء فما ادعاه البعض : " إن الصحابة أجمعوا على أن التراويح عشرون ركعة " مما لا يعول عليه لأنه بني على ضعيف وما بني على ضعيف فهو ضعيف

    Tidak ada ijma’ yang menyatakan Shalat Tarawih 20 rakaat :
    Sudah sangat jelas penjelasanku yang sudah lewat bahwasanya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat “mereka shalat tarawih 20 rakaat”, Itu adalah Dlaif, sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa “para shahabat ijma’ atas shalat tarawih 20 rakaat”, Ijma’ ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula.
    ___________***
    Vs
    _________________***

    = > MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN

    Dalam Kitabnya Majmu’ Al Fatâwa wa Rosaail 14/132

    وسئل فضيلته: هناك من يصلي مع الإمام إحدى عشرة ركعة ثم يفارقه بحجة أن الرسول صلى الله عليه وسلم، كان لا يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة؟
    فأجاب فضيلة الشيخ بقوله: هذا الفعل وهو مفارقة الإمام الذي يصلي التراويح أكثر من إحدى عشرة ركعة خلاف السنة، وحرمان لما يرجى من الأجر والثواب، وخلاف ما كان عليه السلف الصالح وذلك أن الذين صلوا مع النبي صلى الله عليه وسلم، لم ينصرفوا قبله، وكان الصحابة - رضي الله عنهم - يوافقون إمامهم حتى فيما زاد على ما يرونه مشروعاً، فإن عثمان - رضي الله عنه - لما أتم الصلاة في منى أنكروا عليه، ولكن كانوا يتابعونه في الإتمام، ويقولون: إن الخلاف شر، وهو أيضاً حرمان لما يحصل من الثواب؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة".
    والزيادة على إحدى عشرة ركعة ليست حراماً بل هي من الأمور الجائزة، ودليل ذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم سأله رجل عن صلاة الليل فقال: "مثنى، مثنى، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة فأوترت له ما قد صلى). ولم يحدد له النبي صلى الله عليه وسلم عدداً، ولو كانت الزيادة على إحدى عشرة ركعة حراماً لبين ذلك النبي صلى الله عليه وسلم، فنصيحتي لإخواني هؤلاء أن يتابعوا الإمام حتى ينصرف.

    Muhammad Bin Sholih al Utsaimin : ditanya tentang jamaah yang sholat bersama Imam hanya 11 rokaat saja, kemudian memisahkan diri dengan alasan bahwasanya Rasulullah Shollallahu alaihi Wasallam tidak menambah dari 11 rokaat baik pada waktu ramadhan maupun selainya

    Kemudian Muhammad Bin Sholih al Utsaimin jawab:

    Perbuatan ini yaitu memisahkan diri dari Imam yang sholat taraweh lebih dari 11 Rokaat adalah menyalahi Sunnah dan menghilangkan pahala. Perbuatan ini juga menyalahi perbuatan Salafussholih. Para sahabat yang sholat bersama nabi shollallahu Alaihi Wasallam tidak meninggalkan jamaah lebih dahulu dan mereka menuruti Imam mereka sekalipun ia menambahkan dari apa yang menurut mereka disyariatkan. Sesungguhnya Shahabat Utsaman Radiyallahu anhu diingkari oleh para sahabat ketika ia melakukan Sholat secara sempurna di Mina, tetapi mereka tetap mengikutinya dan mereka berkata: Sesungguhnya khilaf itu adalah sebuah keburukan dan mencabut pahala yang diinginkan karena Nabi shallallahu alaihi Wasallam bersabda: Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkanbaginya pahala sholat semalam suntuk.

    Menambah dari 11 rakaat bukanlah keharaman tapi suatu hal yang boleh. Hal itu karena Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang sholat malam, maka beliau bersabda:

    مثنى، مثنى، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة فأوترت له ما قد صلى

    Shalat malam itu Dua dua, kalau salah seorang diantara kalian khawatir datang shubuh maka sholatlah satu rakat yang menjadi witir bagi sholat yang telah ia kerjakan
    Nabi Shallallahu alaihi Wasallam tidak membatasi bilangan rakaatnya. Kalaulah menambah dari sebelas rakaat adalah haram, niscaya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam akan menjelaskannya.
    ___________________________________*

    = > IBNU TAIMIAH
    Dalam Kitabnya Majmu’ Al Fatâwa, 22/272.

    لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أبي بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ثُمَّ يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا زَادَ مِنْ الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ قَامُوا بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا . كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ . وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ

    “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at. Akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.

    Sebagian salaf pun ada yang melaksanakan shalat malam sampai 40 raka’at, lalu mereka berwitir dengan 3 raka’at. Ada lagi ulama yang melaksanakan shalat malam dengan 36 raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.

    Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.

    Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

    Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.

    Dalam kitab yang sama juz 23 hal 112 Ibnu Taimiah juga mengatakan :


    قَدْ ثَبَتَ أَنَّ أُبَي بْنِ كَعْبٍ، كَانَ يَقُومُ بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ وَيُوَتِّرُ بِثَلاَثٍ فَرَأَى كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ لأَنَّهُ قَامَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلاَنصَارِ وَلَمْ يُنكِرُهُ مُنكِرٌ.


    “Telah thabit sesungguhnya Ubay ibn Ka’ab telah mendirikan (sholat Tarawih) bersama orang ramai sebanyak 20 rakaat pada bulan Ramadhan dan dia sholat Witir dengan 3 rakaat. Maka orang ramai melihat perbuatan itu adalah sebagai sunnah kerana bahawasanya dia mendirikannya di antara sahabat dari Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorangpun yang menegahnya.”
    _________________________________-

    = > * Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz
    Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/19

    ومن تأمل سنته صلى الله عليه وسلم علم أن الأفضل في هذا كله هو صلاة إحدى عشرة ركعة، أو ثلاث عشرة ركعة، في رمضان وغيره؛ لكون ذلك هو الموافق لفعل النبي صلى الله عليه وسلم في غالب أحواله، ولأنه أرفق بالمصلين وأقرب إلى الخشوع والطمأنينة ، ومن زاد فلا حرج ولا كراهية كما سبق.

    “Barangsiapa yang memikirkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dia akan tahu bahwa yang afdhal (lebih utama) dalam ini semua adalah shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun yang lainnya. Yang demikian karena itu sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebanyakan kondisi beliau, dan karena itu lebih meringankan bagi para jama’ah, serta lebih dekat kepada khusyu’ dan thuma’ninah. Namun barangsiapa yang menambah lebih dari itu maka tidak ada mengapa dan tidak dibenci sebagaimana telah lewat penjelasan (dalil-dalilnya.”

    …. والثلاث والعشرون فعلها عمر رضي الله عنه والصحابة فليس فيها نقص وليس فيها إخلال بل هي من السنن- سنن الخلفاء الراشدين- ودل عليها حديث ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة توتر له ما قد صلى)) متفق عليه؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يحد فيه عدداً معيناً بل قال: ((صلاة الليل مثنى مثنى)) الحديث. لكن إذا اقتصر الإمام في التراويح على إحدى عشرة أو ثلاث عشرة كان أفضل يسلم من كل ثنتين؛ لأن هذا هو الغالب من فعل النبي صلى الله عليه وسلم ولأن ذلك هو الأرفق بالناس في رمضان وفي غيره، ومن زاد أو نقص فلا حرج؛ لأن صلاة الليل موسع فيها، والله ولي التوفيق.

    Shalat tarawih 23 rakaat pernah dilakukan oleh Umar Radhiallahu’anhu dan sahabat yang lain. Dan ini bukanlah keburukan, bukan pula kebid’ahan, bahkan shalat tarawih 23 rakaat adalah sunnah Khulafa Ar Rasyidin. Hal ini memiliki dalil dari hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
    “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datanya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil” (Muttafaqun ‘ilaihi)
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi rakaat shalat malam dengan batasan jumlah tertentu, namun yang beliau katakan:
    “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”
    Namun memang lebih afdhal jika imam mengerjakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat. Karena inilah yang paling sering dipraktekan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada shalat malamnya. Alasan lain, karena shalat tarawih 11 atau 13 rakaat lebih sesuai dengan kondisi kebanyakan orang (tidak terlalu berat, pent) di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan. Namun bila ada yang melakukannya lebih dari itu, atau kurang dari itu, tidak masalah. Karena perkara rakaat tarawih adalah perkara yang longgar”.

Diposting oleh inilah-aswaja di 01.23 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Rabu, 11 Juli 2012

I'TIKAF dan TADARRUS


I’TIKAF DAN TADARRUS 

A. I’tikaf

Secara bahasa artinya diam, baik untuk tujuan yang baik atau buruk (lihat Kifayatul Akhyar, hal.). Sedangkan menurut istilah ialah diam lebih lama sedikit daripada tuma’ninah shalat di dalam masjid atau rahbah (dinding batas, beranda depan, serambi)-nya dengan niat i’tikaf karena Allah (Fathul Mu’in, jil. 2, hal. 92)
Sunnah Nabi SAW telah menetapkan bahwa i’tikaf itu sunnat dan perlu untuk setiap waktu. Terutama pada sepertiga yang akhir pada bulan Ramadlan, dan paling tidak pada tanggal yang ganjil sejak 21 hingga 29 Ramadlan.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ. صحيح البخاري، رقم 2025)

Dari Abdullah bin ‘Umar Radliallahu ‘anhuma, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh malam yang terakhir daripada bulan Ramadlan.” (Fathul Baari Syarh Shahih Albukhari, hadits nomor 2025)
Rukun I’tikaf

Rukun I’tikaf ada empat, yaitu:
1. Berniat menyengaja beri’tikaf. Bila i’tikaf itu nadzar, maka wajib disebutkan maksud i’ti tersebut dengan lafazh niat: “Aku berniat i’tikaf nadzar karena Allah Ta’ala.”
mu’takif keluar dari masjid seperti pergi ke kamar kecil (WC), tanpa dengan niat untuk kembali lagi ke masjid, maka ia wajib memperbarui niatnya (berniat) lagi ketika hendak beri’tikaf. Namun bila ketika keluar dari masjid ia bermaksud untuk kembali lagi, maka tak perlu berniat lagi.
2. Berdiam diri di masjid selama waktu yang ditentukan.
3. Orang yang i’tikaf (mu’takif) disyarakan: Muslim, baligh, berakal, dan suci dari haidl maupun nifas. Kaum wanita boleh bei’tikaf dengan syarat mendapatkan ijin dai suami atau muhrimnya.
4. Beri’tikaf harus di masjid. Sebaiknya masjid yang dijadikan tempat i’tikaf meupakan jami’ (yang biasa digunakan shalat Jumu’ah), tapi boleh pula beri’tikaf di masjid bukan jami’. I’tikaf kurang baik bila dilakukan saat hari Jum’at, karena hari itu banyak orang yang memerlukan tempat di masjid.
Tidak diperkenankan keluar masjid, kecuali untuk keperluan yang pokok dan mendesak, seperti makan, minum, membuang hajat, memenuhi panggila orangtua, I’tikaf boleh dikerjakan pada siang atau malam hari.

Pembatalan I’tikaf
I’tikaf dinilai batal bila:
1. Berhadats.
2. Keluar dari masjid tanpa ada keperluan mendesak (yang dibenarkan) syari’at.
Hakikatnya beri’tikaf ialah kita berupaya mendekatkan diri kepada Allah dengan menghindari pergaulan duniawi melalui cara menyepi diri di masjid. Saat itu kita memperbanyak mengingat Allah dengan berdzikir, bertadabbur tentang ayat-ayat Alquran, bertafakkur tentang amal kita, bermuhasabah diri, dan segala amal shaleh lainnya.
Dalam beri’tikaf hendaknya kita menghindari berbagai perbuatan yang buruk. Syaikh Zainuddin Almalibari dalam kitabnya Fathul Mu’in, mengutip pendapat Abu Yusuf (penyusun kitab Al-Anwar), yang menyatakan bahwa pahala i’ikaf menjadi hilang disebabkan tercela seperti memaki, membicarakan orang lain (gibah), dan memakan makanan haram. (Fathul Mu’in, juz II, hal. 95) 

B. Tadarrus Alquran

Sudah lazim dan menjadi tradisi di Indonesia, ketika Ramadlan tiba, masyarakat beramai-ramai menyelenggarakan kegiatan keagamaan. Mulai dari tarawih berjama’ah, i’tikaf, buka puasa bersama, sahur bersama, pesantren Ramadlan, hingga halaqah tadarus Alquran. Semua kegiatan tersebut didasarkan pada hadits berikut ini.

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (صحيح البخاري، رقم1870)
Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memeriahkan bulan Ramadlan dengan ibadah, (dan dilakukan) dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (Shahih Albukhari, hadits nomor 1870)
Mengenai kata “qaa-ma” atau qiyam Ramadlan dalam hadits di atas, Al-Shan’ani dalam kitabnya Subul syarh Bulugul Maram, menjelaskan:
قِيَامُ رَمَضَانَ أَيْ قِيَامُ لَيَالِهَا مُصَلِّيًا اَوْ تَالِيًا. (سبل السلام، ج2 ص
173)
“Yang dimaksud dengan qiyam Ramadlan (dalam hadits itu adalah) mengisi dan memeriahkan malam bulan Ramadlan dengan melakukan shalat atau membaca Alquran.” (Subulussalam, juz II, hal. 173)
Lebih lanjut, Syaikh Al-Manawi pengarang kitab Faidl Al-Qadiir Syarh Al-Jami’ush-shagir pun menjelaskan:
وَيَحْصُلُ بِنَحْوِ تِلاَوَةٍ اَوْصَلاَةٍ اَوْذِكْرٍ اَوْعِلْمٍ شَرْعِيٍّ وَكَذَا كُلُّ اُخْرَوِيٍّ. (فيض القدير، ج6 ص191)
“Qiyam Ramadlan itu dapat dilaksanakan dengan membaca Alquran, shalat, dzikir, atau mempelajari ilmu agama. Dan demikian pula segala kegiatan yang bersipat ukhrawi.” (Faidl al-Qadiir, juz VI, hal. 191)
Dengan penjelasan kedua pengarang kitab yang mengomentari kitab-kitab hadits, yakni Al-Shan’ani mengomentari Kitab Hadits Bulugul Maram, dan Al-Manawi mengomentari Kitab Hadits Jami’ush-shagir, maka dapat dikeatahui, di antara bentuk qiyam Ramadlan ialah dengan membaca Alquran atau dalam istilah kita dikenal dengan istilah tadarrus. Namun bagaimana metode tadarrus yang benar?. Syaikh Nawawi Albantani mengatakan:
فَمِنَ التِّلاَوَةِ الْمُدَارَسَةُ الْمُعَبَّرُ عَنْهَا بِاْلإِدَارَةِ وَهِيَ اَنْ يَقْرَأَ عَلَى غَيْرِهِ وَيَقْرَأَ غَيْرُهُ عَلَيْهِ وَلَوْ غَيْرَ مَا قَرَأَهُ اْلأَوَّلُ. (نِهَايَةُ الزَّيْن، ص194-195)
“Termasuk membaca Alquran (pada malam bulan Ramadlan) adalah mudarasah, yang sering disebut dengan idarah. Yakni seseorang membaca untuk orang lain, kemudian orang lain itu membaca untuk dirinya. (Yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa yang dibaca (orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayatuzzain, hal. 194-195)

Tadarrus Alquran pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مِنْ اَجْوَدِ النَّاسِ وَاَجْوَدُ مَايَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ. فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ اَجْوَدَ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ. (مسند احمد، رقم3358)
“Dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna. Sedangkan saat yang paling baik bagi beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat malaikat Jibril mengunjungi beliau. Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi setiap malam bulan Ramadlan, lalu melakukan mudarasah Alquran dengan Nabi. Rasul SAW memiliki suara yang lebih merdu dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad, hadits nomor 3358)

(Oleh : K.H. Abdurrahman Navis)
Diposting oleh inilah-aswaja di 11.04 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Komentar (Atom)

Postingan Populer

  • Allah Bersemayam di Arsy ?
    Tidak Semua Makna Istawlâ atau Qahara Berindikasi :  Sabq al-Mughâlabah     Sebagian kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah di mas...
  • Mana Dalilnya??????????
    Seringkah anda mendapat pertanyaan : MANA DALILNYA????  Apakah semua ibadah harus ADA dalilnya yang spesifik??? atau bagaimana? beri...
  • Apakah Tasawuf itu Sesat?
    Jika pertanyaan itu diajukan kepada kami (Aswaja), maka kami Jawab : TIDAK Namun jika diajukan kepada kelompok Wahaby, maka jawabannya bisa...
  • Aswaja Spot : Ziarah dan Tahlilan
    Berikut ini Aswaja Spot Episode 3 : Segmen 1  <iframe width="220" height="115" src="//www.youtube.com/embed/...
  • Apa itu Bid'ah ????
    Pengertian Bid’ah Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah: مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ “Sesuatu yang diadakan tan...
  • Adzan Jum'at 2 Kali, Apakah Bid'ah?
    Sebagaimana telah dimaklumi oleh kaum muslimin, bahwa pada zaman Rasulullah , Sayyidina Abu Bakar dan Umar , azan untuk solat Jumaat han...
  • Benarkah Syech Muhammad Nashirudin Al Albani seorang Ahli Hadits ?
    Bagaimana jawaban atas pertanyaan judul tersebut di atas? Jawab : apakah beliau ahli hadits atau bukan, silakan simak pembahasan berikut...
  • Awal dan Akhir Ramadhan ; Mengapa berbeda?
    Seputar Perbedaan Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan dan Solusinya Pertanyaan: Sudah beberapa kali di Indonesia ini terjadi perbedaan penen...
  • hukum melafalkan usholly
    HUKUM MELAFALKAN NIAT (SHALAT) Tanya: Bagaimana Huku melafalkan "Usholly" ? Jawab: hadits shahih riwayat imam Muslim ...
  • Imam Abu Hanifah : Apa berkata Allah ada di atas langit?
    Ada sebagian orang mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah menyatakan sebagai berikut : Mereka Berkata : =============== 16. Imam Abu Hanifa...

Arsip Blog

  • ►  2013 (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (1)
  • ▼  2012 (12)
    • ▼  Juli (4)
      • Mana Dalilnya??????????
      • Awal dan Akhir Ramadhan ; Mengapa berbeda?
      • Bilangan Rakaat Tarawih
      • I'TIKAF dan TADARRUS
    • ►  Juni (8)

BERGABUNG

Text Widget

World News

Entertainment
Limitless Movie Review, Starring Bradley Cooper & Robert De Niro
Entertainment
Sucker Punch (2011) By Zack Snyder
Sport
Loris Capirossi Retires, Riders Pay Tribute
News World
New large horned viper discovered, but biologists keep location quiet
News Today
Libyan rebel chief warns Egypt over pro-Gaddafi TV
1 2 3 4 5

Recent Posts

Pages

  • Beranda
Tema PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.